Diantara Sifat Seorang Muslim


Diambil dari : Buletin Dakwah Al Minhaj edisi : 02/Tahun VI/14 Sya'ban 1432 H - 15 Juli 2011 M

oleh: Fajri NS

Seorang Muslim yang baik adalah yang beriman kepada ayat-ayat Al Qur-an, maupun hadits-hadits Nabi Muhammad e dengan sebenar-benarnya keimanan. Sehingga, manakala akalnya yang terbatas atau perasaannya yang telah bercampur hawa nafsu tersebut berseberangan dengan satu ayat atau satu hadits Nabi e yang shahih, maka dia dahulukan ayat atau hadits Nabi e sebagai bukti iman yang ada di dadanya.

Allah memuji orang yang bertaqwa di dalam Al Qur-an dan memulai dengan menyebutkan sifat iman kepada hal yang ghaib, Allah berfirman, “Alif Laam Miim. Kitab (Al Qur-an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. (Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib …” (QS. Al-Baqarah, 1 - 3)

Berkata Imam ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’dy rahimahullah ketika menafsirkan ayat di atas, “Hakekat Iman adalah pembenaran secara sempurna terhadap segala apa yang dikhabarkan oleh para Rasulullah e yang mengandung sikap ketundukan anggota badan, dan bukanlah keimanan itu (iman) terhadap perkara-perkara yang dapat disaksikan oleh panca indera, karena (jika demikian) tidaklah terbedakan dengannya (antara) orang Islam dan orang kafir. Hanyalah keimanan itu adalah iman kepada perkara yang ghaib, yang mana kita tidak melihatnya dan tidak pula menyaksikannya, hanya saja kita mengimaninya, karena semata-mata hal itu khabar dari Allah dan Rasul-Nya e.

Inilah iman yang dengannya terbedakan dengan jelas, antara seorang muslim dan seorang yang kafir, karena iman yang seperti itu semata-mata pembenaran terhadap Allah dan rasul-rasul-Nya. Maka, seorang mukmin beriman kepada semua yang dikhabarkan oleh Allah atau semua yang dikhabarkan Rasul-Nya e. Sama saja, apakah dia menyaksikannya atau tidak menyaksikannya dan sama saja apakah dia memahaminya dan mencernanya, atau akal dan pemahamannya belum mampu mengambil petunjuk darinya (dia tetap mengimaninya).

Berbeda dengan keadaannya orang-orang zindiq dan orang-orang yang mendustakan perkara-perkara yang ghaib, karena akal-akal mereka yang dangkal, serta tidak mampu mengambil petunjuk darinya, lalu mereka mendustakan apa saja yang mereka tidak mampu meliputi ilmunya. Maka (dengan sebab pendustaan yang mereka lakukan itu), rusaklah akal-akal mereka. Dan bersih akal-akal orang-orang yang beriman, yang membenarkan, serta yang dapat mengambil petunjuk dari petunjuk Allah.

Dan termasuk iman terhadap perkara yang ghaib, yaitu iman terhadap segala yang Allah khabarkan dari perkara-perkara ghaib yang dahulu, maupun yang akan datang. Kemudian, tentang keadaan-keadaan akherat, hakekat-hakekat sifat-sifat Allah dan kaifiyahnya (bagaimananya), serta apa yang dikhabarkan para rasul dari hal tersebut. Maka, mereka mengimani sifat-sifat Allah dan wujud-wujudnya, serta meyakininya, meskipun mereka belum memahami kaifiyahnya (bagaimananya).” [Taisierul Kariemir Rahman, hal. 29-30]

Dari penjelasan di atas dapat kita ambil beberapa faedah dan kaidah yang sangat bermanfaat, antara lain:
a.        Beriman terhadap perkara yang ghaib merupakan sifat utama seorang mukmin;
b.       Yang dimaksud dengan perkara yang ghaib yang wajib kita imani adalah segala apa yang dikhabarkan oleh Allah dan para rasul di dalam Al Qur-an, maupun Al Hadits. Seperti: kejadian-kejadian masa lalu, maupun akan datang yang ada di Al Qur-an, maupun As Sunnah, kejadian-kejadian di akherat, hakekat serta kaifiyah sifat-sifat Allah, adanya jin, malaikat dan lain-lain. Ini semua wajib kita imani.
Jika berupa khabar, kita benarkan. Jika berupa perintah, kita laksanakan semampu kita. Jika berupa larangan, maka kita tinggalkan.
c.        Perkara-perkara ghaib yang wajib kita yakini tersebut haruslah bersumber dari Al Qur-an dan As Sunnah, bukan bersumber dari khayalan-khayalan para penghayal dan bukan pula berdasarkan dari mimpi-mimpi seseorang;
d.       Iman yang benar adalah sebagaimana yang dijelaskan di atas, yaitu pembenaran secara sempurna terhadap segala apa yang dikhabarkan oleh Allah dan para rasul, yang keimanan tersebut menjadikan anggota badan tunduk terhadap keputusan Allah dan Rasul-Nya e, meskipun mata tidak melihatnya dan  akal tidak  mampu mencernanya.
Karena, akal manusia itu amatlah terbatas jika dinisbahkan dengan perkara-perkara ghaib, sehingga akal dengan sendirinya tidak mampu mengenal perkara-perkara yang ghaib.
e.       Tugas akal hanyalah mengikuti, serta tunduk terhadap segala apa yang datang di dalam wahyu Al Qur-an, maupun As Sunnah;
f.         Akal yang bersih dan sehat adalah akal yang tunduk, serta menyerah terhadap semua yang ada di dalam Al Qur-an, maupun As Sunnah.
Kenapa akal tidak tunduk dan menerima ayat-ayat Al Quran dan Hadits-hadits? Bukankah Al Qur-an merupakan sebaik-baik perkataan? Bukankah Al Qur-an itu berasal dari Dzat Yang tidak mempunyai cacat sedikitpun dalam nama, sifat dan perbuatan Nya? Dialah Allah …
Dan, kenapa akal tidak tunduk dan menerima hadits-hadits? Bukankah hadits itu sebaik-baik petunjuk? Bukankah hadits itu diucapkan seorang yang tidak pernah berdusta, meskipun hanya sekali? Dialah Nabi Muhammad e

Akibat Membenci Salah Satu Ajaran Islam yang Dibawa Nabi Muhammad e
Dari uraian di atas nampak jelas, bagaimana seharusnya kita sebagai orang Islam dalam ber-mu’amalah dengan ayat-ayat Al Qur-an dan Hadits-hadits Nabi e. Namun, masih saja kita dapati sekelompok manusia yang menasabkan diri mereka kepada Islam, akan tetapi mereka sangat mudah ‘menghujat’, membenci, bahkan menolak ayat-ayat Al Qur-an, maupun Hadits Nabi e dengan berbagai alasan yang mereka hiasi perkataan mereka dengan bahasa-bahasa yang indah dan terkesan intelek, padahal di dalamnya mengandung kekufuran yang amat besar. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh para penyeru ‘Pluralisme Islam’ dan yang sejalan dengan mereka.

Ketahuilah wahai saudaraku, perbuatan mereka ini menyebabkan hancur leburnya amal mereka. Sebanyak apapun amal shalih yang mereka kerjakan. Allah Ta’ala berfirman, “Dan orang-orang yang kafir, maka kecelakaanlah bagi mereka dan Allah menghapus amal-amal mereka. Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al Qur-an), lalu Allah menghapus (pahala-pahala) amal-amal mereka.” (QS. Muhammad, 8-9)
Ayat ini menjelaskan, bahwa hanya sekedar membenci sebagian dari ayat-ayat Al Qur-an, maupun Hadits menyebabkan hancur leburnya amal seseorang. Atau dengan kata lain, membenci ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad e merupakan salah satu perbuatan yang bisa mengeluarkan seseorang dari Islam. Sebagaimana dijelaskan oleh DR. Shalih bin Fauzan Al Fauzan dalam Syarh Nawaaqidhil Islam.

Jika Belum Bisa Memahami Suatu Dalil, Maka Bertanyalah Ulama atau Ahli Ilmu
Islam bukanlah agama yang menyulitkan manusia, karena Islam adalah fithrah (tabi’at) yang Allah ciptakan manusia di atas tabi’at tersebut, yaitu tabi’at Islam yang mereka bawa sejak lahir sebelum tabi’at ini berubah menjadi selain dari tabi’at Islam, apakah itu Yahudi, Nashrani, ataupun Majusi.

Termasuk dalam hal ketika kita tidak mampu memahami dalil yang berasal dari Kitab (Al Qur-an), maupun As Sunnah. Maka, Islam membimbing kita agar bertanya kepada para ulama yang mereka lebih mengetahui tentang dalil-dalil tersebut daripada kita. Jika ulama tersebut tidak mengetahuinya, maka kita serahkan kepada Allah, cukup kita imani saja. Bukan berarti, ketika akal tidak mampu memahami dalil, lantas dalil tersebut kita ‘plintir’ agar sejalan dengan keinginan akal. Atau yang lebih parah, dalil tersebut kita tolak karena kita anggap tidak masuk akal. Tidak, tidak demikian!!

Berkata Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan, “Siapa saja yang taslim (menerima segala apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya e, tanpa men-ta’wil, ataupun memalingkan maknanya) maka, niscaya dia mengembalikan apa yang masih samar baginya dan tidak dia ketahui maknanya atau kaifiyahnya kepada Yang Mengetahuinya, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga, apa yang masih rumit baginya hendaknya dia kembalikan kepada ahli ilmu (ulama) dan di atas setiap yang memiliki ilmu ada Yang Maha Mengetahui. Kemudian,  ketika di sisi ulama tersebut tidak ada ilmu tentangnya, maka wajib menyerahkannya kepada Allah Jallaa wa ’Alaa.” [At Ta’lieqaat Al Mukhtasharah ‘alal ‘Aqiedah Ath Thahawiyah, hal. 81-82]

Penjelasan beliau ini merupakan kaidah yang besar dan wajib kita ketahui, lalu kita terapkan dalam kehidupan keagamaan kita agar kita menjadi seorang muslim yang baik.

Agama Dibangun di Atas Pengikutan Kepada Nabi Muhammad e
Sebagai kesimpulan, maka kami sampaikan, bahwa agama Islam ini dibangun di atas ittiba’, mengikuti Nabi Muhammad e dari sisi ilmu, amal dan dakwah menyebarkan Islam. Dan dengan inilah kita akan menjadi seorang muslim yang baik.

‘Ali bin Abi Thalib t (sebagai salah satu contoh figur seorang muslim yang baik) berkata, “Jikalau agama itu berdasarkan akal, maka bagian bawah sepatu lebih berhak diusap dari yang bagian atasnya. Akan tetapi, sesungguhnya aku pernah melihat Rasulullah e mengusap bagian atas kedua sepatu Beliau.” [Shahih, HR. Abu Dawud (162-164) dalam Al Masaa-il Jilid 6 hal. 84]

Dalam Kitab-kitab Hadits atau Kitab-kitab Fiqh ada satu ilmu tentang ‘Al Mas-hu ‘alal Khuff’, yaitu mengusap khuff, segala yang menutupi kaki sampai bagian mata kaki. Maksudnya, kita diberi keringanan untuk tidak melepas sepatu kita, ketika kita wudhu dan cukup mengusap bagian atasnya saja, dengan syarat kita dalam keadaan suci ketika memakainya. Bagi musafir, diberi batas waktu 3 hari 3 malam dan yang bukan musafir 1 hari 1 malam.

Secara akal, bagian bawah sepatu lebih pantas untuk diusap, akan tetapi Nabi e mengusap pada bagian atasnya. Jika demikian keadaannya, maka kita sebagai seorang muslim mengikuti perbuatan Nabi e dan kita tinggalkan akal kita dan merasa tenang dengan hal itu. Hal ini kita terapkan di seluruh ajaran Islam, tidak terbatas pada masalah fiqh saja.

Ketika seseorang masih suka memakai jimat, maka hendaknya dia tinggalkan, karena Nabi e melarangnya. Ketika seseorang masih suka bid’ah, maka dia meninggalkannya, karena Nabi e sangat membenci bid’ah. Ketika seseorang masih bermalas-malasan shalat, dia segera bangkit dan memerangi dirinya agar tidak malas, karena Nabi e mengancam dengan ancaman yang sangat keras. Ketika seseorang sadar dirinya memiliki sifat iri, dengki, sombong, individualism, maka dia meninggalkan semua itu, karena Nabi e tidak menyukai sifat-sifat tersebut dan seterusnya yang menunjukkan, bahwa ketika kita tunduk kepada ayat-ayat Al Qur-an daN As Sunnah, niscaya kita menjadi seorang muslim yang baik.

Comments

Popular posts from this blog

Macam-macam Majas

Ringkasan Materi Psikologi Perkembangan

Ilmu di Mata Imam Asy Syafi'i rahimahullah