‘Iedul Fithri


Diambil dari : : Buletin Al Minhaj edisi 8/ Tahun VI/26 Ramadhab 1432 H - 26 Agustus 2011

Oleh : : Ferry Abu Sahl

Makna Secara Bahasa
Kata ‘iedul fitri terdiri dari dua kata, yaitu (‘ied) dan (al fithri)
Ied secara bahasa, artinya ‘setiap hari yang didalamnya ada perkumpulan’. Diambil dari kata (عَادَ - يَعُوْدُ) 'aada - yauudu artinya ‘kembali’, karena seakan-akan mereka selalu kembali padanya. Adapula yang berpendapat, bahwa ‘Ied diambil dari kata  ‘Adat atau Kebiasaan’, karena mereka menjadikannya sebagai kebiasaan.
Adapun, Al Fithru / Ifthaar secara  bahasa artinya : ‘berbuka’ (yakni, berbuka puasa, jika terkait dengan puasa). Jadi ‘Iedul Fithri artinya ‘Hari Raya Berbuka Puasa’. Yakni, kita kembali berbuka (tidak puasa lagi) setelah selama sebulan kita berpuasa.
Makna Secara Syari’at
Sering kali kita mendengar dari para Khatib (penceramah/muballigh) di mimbar menerangkan, bahwa ‘Iedul Fithri itu maknanya -menurut persangkaan mereka- ialah ‘Kembali kepada Fitrah’, yakni : ‘Kita kembali kepada fitrah kita semula (suci) disebabkan telah terhapusnya dosa-dosa kita’.
Namun, persangkaan mereka ini salah dari sisi bahasa, maupun syari’at, karena makna ‘Iedul Fithri secara syari’at, yaitu Hari Raya Kita Kembali Berbuka Puasa.
Sebagaimana sabda Nabi e, “Shaum / puasa itu ialah pada hari kamu berpuasa dan (‘Iedul) Fithri itu ialah pada hari kamu berbuka.” [HR. At  Tirmidzi (693)]
Hukum Shalat ‘Ied
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, namun pendapat yang kuat, yaitu wajib bagi setiap individu (fardhu ‘ain), karena Nabi e terus menerus mengerjakannya dan tidak pernah meninggalkan sekalipun. Dan beliau memerintahkan manusia untuk keluar mengerjakannya, hingga menyuruh wanita-wanita yang merdeka, gadis-gadis pingitan dan wanita haidh. Bahkan, menyuruh wanita yang tidak memiliki jilbab agar dipinjamkan oleh saudaranya.
Sebagaimana dalam Hadits Ummu ‘Athiyah t, beliau berkata, “Nabi e memerintahkan kami pada saat Shalat ‘Ied agar mengeluarkan para gadis (yang baru beranjak dewasa) dan wanita yang dipingit, begitu juga wanita yang sedang haidh. Namun, Beliau e memerintahkan wanita yang sedang haidh untuk menjauhi tempat shalat.” [HR. Al Bukhary (324)]
Diantara dalil yang menunjukkan wajibnya Shalat ‘Ied adalah : Shalat ‘Ied dapat menggugurkan kewajiban Shalat Jum'at apabila bertetapan waktunya (yakni, Hari ‘Ied jatuh pada Hari Jum'at) [Sebagaiman Hadits Abu Hurairah t yang diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi (1073)]
Sesuatu yang tidak wajib tidak mungkin dapat menggugurkan sesuatu yang wajib. Dan sungguh telah jelas, bahwa Nabi e terus menerus melaksanakannya secara berjama’ah sejak disyari’atkannya sampai Beliau e meninggal. Beliau menggandengkan keladhiman ini dengan perintah Beliau e kepada manusia agar mereka keluar ke tanah lapang untuk melaksanakan Shalat ‘Ied.” [Nailul Authar (3/382-383)]
Tempatnya
Menurut sunnah yang selalu diamalkan oleh Rasulullah e dan para sahabat y, tempat pelaksanaan Shalat ‘Ied adalah di lapangan, kecuali ada udzur, seperti hujan, maka boleh di masjid.
Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah dalam Ta’liq Sunan Tirmidzi (2/421-424) mengatakan, “Hadits-hadits shahih menunjukkan, bahwa Nabi e Shalat Hari Raya di lapangan dan diteruskan oleh generasi setelahnya.”
Waktunya
Waktu Shalat ‘Iedul Fithri yaitu, ketika matahari naik setinggi tombak dan sunahnya mempercepat Shalat ‘Iedul Adha agar manusia bersegera malaksanakan sesembelihan kurban dan mengakhirkan Shalat ‘Iedul Fithri agar manusia longgar dalam mengeluarkan Zakat Fithr.
Adapun batas akhir waktunya adalah sesudah tergelincirnya matahari. [Zaadul Ma’ad (1/442)]
Sifat Shalat Hari Raya
1)        Dua Raka’at
Sebagaimana riwayat dari Umar t, beliau berkata, “Shalat safar itu dua raka’at, shalat dhuha dua raka’at, shalat hari raya dua raka’at, sempurna tanpa dikurangi menurut lisan Muhammad e.” [Shahih HR. Ahmad (1/37)]
2)       Takbiratul Ihram, Kemudian Takbir Tujuh Kali pada Raka’at Pertama dan Lima Kali pada Raka’at Ke-dua
Dari Aisyah t, bahwasanya Rasulullah e bertakbir pada Shalat ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adha pada raka’at pertama tujuh takbir dan pada raka’at kedua lima kali takbir, selain dua takbir ruku’. [Irwa’ul Ghalil (3/107 No.639)]
Inilah pendapat mayoritas Ahli Ilmu dari kalangan sahabat y dan generasi setelahnya. [Lihat, Nailul Authar (284-286), Syarhus Sunnah (4/309)]
3)       Membaca Doa di Sela-sela Takbir
Tidak ada penukilan dari Nabi e tentang bacaan di sela-sela takbir. Akan tetapi, telah shahih dari Ibnu Mas’ud t, bahwa bacaannya adalah pujian kepada Allah dan shalawat kepada Nabi e, serta do’a. Dan ini dibenarkan oleh sahabat Hudzaifah dan Abu Musa Al-Asy’ari y. [Irwa’ul Ghalil (642)]
4)       Membaca Al-Fatihah dan Surat dengan Suara Keras
Apabila telah selasai takbir hendaknya membaca Al-Fatihah, kemudian membaca surat secara keras, dan disunnahkan membaca Surat Qaf pada raka’at pertama dan Al-Qomar pada raka’at kedua. [Lihat, HR. Muslim (891)]
Atau membaca Surat Al-A’la dan Al-Ghasyiyah. [Lihat, HR. Muslim (878)]
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Telah shahih dari Nabi e kedua bacaan tersebut dan tidak shahih selain dua bacaan tersebut.” [Zadul Ma’ad (1/443)]
5)       Gerakan Lainnya, Seperti Gerakan Shalat Biasanya (tidak ada perbedaan)
Khuthbah Hari Raya
Disyari’atkan ada khutbah setelah selesai Shalat ‘Ied, berdasarkan riwayat Ibnu Abbas t, beliau berkata, “Aku menyaksikan ‘Ied bersama Rasulullah e, Abu Bakr, Umar dan Utsman. Mereka semua shalat lebih dulu sebelum khotbah.” [HR. Al Bukhary (962)]
Dan Khutbah ‘Ied ini hanya sekali, bukan dua kali, seperti Khuthbah Jum’at. [Lihat, HR. At Tirmidzi (2/411)]
Sunnah-sunnah dalam Menghadiri Shalat Hari Raya
1)        Mandi
Memang tidak ada hadits yang shahih dari Nabi e yang berkaitan dengan mandi sebelum Shalat Hari Raya, namun terdapat beberapa atsar dari sebagian sahabat y yang menunjukkan hal ini. Diantaranya ialah dari Abdullah bin Umar y, bahwasanya beliau mandi hari raya, ketika hendak pergi ke lapangan. [Irwa’ul Ghalil (1/176), Lihat Al-Umm (1/265)]
2)       Berpakaian Bagus
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Nabi e memakai pakaian terbagusnya untuk Shalat Hari Raya. Beliau e memiliki pakaian khusus untuk Shalat Hari Raya dan Shalat Jum’at ….” [Zadul Ma’ad (1/441)]
3)       Makan Sebelum Shalat ‘Iedul Fithri dan tidak makan sebelum shalat ‘Iedul Adhaa
Sebagaiman riwayat dari Buraidah t, beliau berkata, “Nabi e tidak keluar pada ‘Iedul Fithri, hingga makan terlebih dahulu. Adapun pada ‘Iedul Adhaa, Beliau e tidak makan hingga pulang dan makan dari daging kurban sembelihannya.” [Hadits Hasan, Riwayat At Tirmidzi (542)]
4)       Berjalan Kaki
Dari Ali t berkata, “Termasuk sunnah, yaitu engkau keluar Shalat Hari Raya dengan berjalan kaki.” [Shahih At Tirmidzi (1/164)]
Hikmah disyari’atkannya berjalan kaki tatkala pergi ke lapangan untuk Shalat ‘Ied ini banyak sekali, diantaranya ialah  lebih menyemarakkan Syi’ar Islam, merendahkan diri dan tidak sombong, serta menjalin kebersaman. Adapun kalau ada udzur, seperti jauh, tua atau sakit, maka boleh berkendaraan.
5)       Bertakbir
Berdasarkan riwayat dari Ibnu Abi Syaibah t, beliau berkata, “Nabi e apabila pada Hari Raya ‘Iedul Fithri, beliau bertakbir hingga sampai di lapangan dan melaksanakan shalat. Apabila selesai shalat, maka beliau memutus takbirnya.” [Lihat, As-Shahihah (170)]
Ucapat Selamat Hari Raya
Tentang ucapan selamat hari raya, sebagian orang megucapkannya kepada orang lain ‘Taqabbala-llaahu minnaa wa minkum’. Maka, seperti itu boleh, karena telah diriwayatkan oleh beberapa sahabat.
Jubair bin Nufair berkata, “Para sahabat e, apabila mereka saling berjumpa pada Hari Raya, sebagian yang lain mengucapkan, ‘Taqabbala-llaahu minnaa wa minkum’ (‘Semoga Allah menerima amalanku dan amalanmu -pen).” [Fathul Bari (2/446)]
Berjabat Tangan dengan Wanita yang Bukan Mahram
Memang berjabat tangan merupakan kebaikan. Hudzaifah t menyampaikan ucapan Rasulullah e, “Sesungguhnya seorang mukmin, apabila bertemu dengan mukmin yang lain, lalu ia mengucapkan salam dan mengambil tangannya untuk menjabatnya, maka akan berguguran kesalahan-kesalahan keduanya, sebagaimana bergugurannya daun-daun pepohonan.” [Lihat, Ash-Shahihah (526)]
Amalan yang pertama kali dicontohkan oleh Ahlul Yaman (Penduduk Yaman) kepada penduduk Madinah ini biasa dilakukan di tengah masyarakat kita. Shahabat Al-Bara` bin ‘Azib t berkata, “Termasuk kesempurnaan tahiyyah (ucapan salam) adalah engkau menjabat tangan saudaramu.” [HR. Al-Bukhary dalam Al-Adabul Mufrad (968)]
Berjabat tangan telah jelas kebaikannya. Namun, bagaimana kalau laki-laki dan perempuan yang bukan mahram saling berjabat tangan, apakah suatu kebaikan pula? Tentu saja tidak!!! Walaupun menurut perasaan masyarakat kita, tidaklah beradab dan tidak punya tata karma sopan santun, bila seorang wanita diulurkan tangan oleh seorang lelaki dari kalangan karib kerabatnya, lalu ia menolak untuk menjabatnya. Dan mungkin lelaki yang uluran tangannya di-‘tampik’ itu akan tersinggung berat. Sebutan yang jelek pun akan disematkan pada si wanita. Padahal, si wanita yang menolak berjabat tangan tersebut melakukan hal itu, karena tahu tentang hukum berjabat tangan dengan laki-laki yang bukan mahramnya.
Rasulullah e sebagai qudwah kita, tidak pernah mencontohkan berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram-nya. Bahkan, Beliau e mengharamkan seorang lelaki menyentuh wanita yang tidak halal baginya. Beliau e pernah bersabda, “Kepala salah seorang ditusuk dengan jarum dari besi itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” [Lihat, Ash-Shahihah (226)]

Comments

Popular posts from this blog

Macam-macam Majas

Ringkasan Materi Psikologi Perkembangan

Ilmu di Mata Imam Asy Syafi'i rahimahullah