Kisi-kisi Materi Masailul Fiqhiyah
Masailul
Fikhiyah
Secara etimologi, masa>il
al-fiqhi>yah merupakan
susunan kata dalam bentuk kata majmuk (idhafah) yang berasal dari kata masail dan fiqh. Katamasail merupakan bentuk plural (jama’)
dari kata mas-alah yang merupakan bentuk kata
abstarak (mashdar) dari akar kata bahasa Arab sa-ala, yas-alu, sualan wa
mas-alatan yang berarti
meminta atau mempertanyakan tentang suatu perkara.
Dalam al-Ta’rifat disebutkan, bahwa makna terminologis
dari kata al-masail adalah perkara-perkara yang dapat dijadikan sebagai dasar
pengetahuan yang bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan yang komprehensif atas
perkara-perkara tersebut atau
dengan kata lain data-data faktual yang dapat dijadika sebagai dasar penelitian
dan pengkajian.
Dengan demikian, maka yang dimaksud dengan mas-alah (bentuk singular dari kata masa>il ) adalah segala perkara yang
membutuhkan dalil dan penjelasan dengan jalan mepertanyakan apa dan bagaimana
perkara tersebut. Pertanyaan-pertanyaan tersebut selanjutnya membentuk sebuah
bangunan keilmuan secara integral dan komperehensif. Oleh karena itu, dalam
berbagai karya-karya fiqh dapat ditemukan berbagai istilah seperti:mas-alah,
fi>hi masa>il (di
dalamnya terdapat berbagai permasalahan), dan sebagainya. Selanjutnya, mereka
menjelaskan berbagai dalil, petunjuk, dan menjawab berbagai pertanyaan yang
berkaitan dengan perkara tersebut. Dengan dasar itu, kemudian menyuguhkan hasil
dan kesimpulan-kesimpulan hukum.
Kata fiqh secara umum bermakna menemukan sesuatu dan
mengetahuinya. Jadi, segala bentuk pengetahuan atas suatu perkara disebut
sebagai fiqh.
Para ulama berbeda pendapat tentang fiqh secara terminologis,
dimana para ulama ushul mendefenisikannya sebagai ilmu yang tentang
cabang-cabang hukum syari’at yang didasarkan pada dalil-dali yang terperinci.
Sementara menurut para ulama fiqh mendefenisikannya sebagai bentuk penjagaan
atas cabang-cabang hukum Islam, sedang menurut ulama tasawwuf, fiqh merupakan
bentuk integrasi antara ilmu dan amal.
Menurut Ibn Khaldun, fiqh merupakan ilmu yang membahas tentang
hukum-hukum Allah yang ditetapkan atas mukallaf dalam bentuk wajib, haram,
mandub (sunnah), makruh, dan mubah yang didasarkan pada al-Qur’an, al-Sunnah,
dan dalil-dalil lain yang sejalan dengan keduanya. Jika dari dalil-dalil
tersebut dapat dismpulkan berbagai produk hukum, maka itulah yang disebut
dengan fiqh.
Berdasarkan pengertian etimologis dan terminologis dari kata masa>il dan fiqh di atas, maka yang dimaksud
dengan masa>il
al-fiqhi>yah adalah
perkara-perkara yang berhubungan dengan hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliyah
dalam seluruh dimensinya berdasarkan petunjuk-petunjuk dalil-dalil yang
terperinci. Dapat juga difahami sebagai persoalan – persoalan fiqh yang muncul
dan terjadi dalam konteks manusia moderen sebagai refleksi kompleksitas
problematika pada suatu tempat, kondisi dan waktu. Dan persoalan tersebut belum
pernah terjadi pada waktu yang lalu, karena adanya perbedaan situasi yang
melingkupinya.
Obyek
Kajian
Dengan
lahirnya masail al-fiqihiyah atau persoalan-persoalan
kontemporer, baik yang sudah terjawab maupun sedang diselesaikan, bahkan
prediksi munculnya persoalan baru mendorong kaum muslimin belajar dengan giat
meneliti dan memahami berbagai metodologi penyelesaian masalah yang dilalui
oleh para ulama baik klasik (mutaqddimin) maupun kontemporer (muta-akhkhirin).
Dari sudut fiqh
penyelesaian suatu masalah dikembalikan kepada sumber pokok yaitu;
al-Qur’an dan al-Sunnah, kemudian ijma’, qiyas dan seterusnya. Sehingga produk
hukum (istinba>th al-hukm) yang dihasilkan senantiasa berada dalam
koridor yang benar.
Tujuan
dan Keutamaan Mempelajarinya
Tujuan
mempelajari masail al-fiqhi>yah secara garis besar bertjuan
mengetahui jawaban syari’at Islam tentang berbagai persoalan-persoalan
kontemporer dan menyelesaikannya melalui metodologi ilmiah secara sistematis
dan analitis.
Adapun keutamaan
mepelajari masa>il al-fiqhi>yah di antaranya:
1.
Memperbaiki kulitas hidup dan penghidupan
manusia secara individu dan kolektif agar dapat menjadi sumber kebaikan bagi
masyarakat;
2.
Menegakkan keadilan dalam masyarakat Islam;
dan
3.
Mewujudkan kemaslahatan dengan keyakinan bahwa
tidak ada hal yang sia-sia dalam syari’at melalui al-Qur’an dan al-Sunnah
kecuali di dalamnya terdapat kemaslahatan hakiki untuk seluruh umat manusia.
Aborsi
Abortus
secara bahasa berasal dari Bahasa Inggris abortion, yang berarti
keguguran kandungan. Sedangkan menurut istilah abortus adalah
berakhirnya kehamilan sebelum kehamilan berumur 16 minggu. Abortus merupakan
suatu perbuatan untuk mengakhiri masa kehamilan dengan mengeluarkan janin dari
kandungan, sebelum janin itu dapat hidup diluar kandungan seorang ibu.
Macam-macam
Abortus
1. Abortus spontan (spontaneus abortus).
Abortus yang tidak disengaja, terjadi karena sebab-sebab alamiah, misalnya karean penyakit syphilis, kecelakaan dan sebagainya. Abortus semacam ini tidak menimbulkan dampak hukum, karena hal ini terjadi diluar kehendak dan kuasa manusia.
2. Abortus buatan atau disengaja
Yakni abortus yang dilakukan sengaja atas usaha manusia. Abortus ini dibagi dalam dua macam, yakni:
a.
Abortus
artificialis Therapicus
Yaitu, abortus yang dilakukan tanpa dasar
indikasi medis. abortus ini biasanya dilakukan terhadap penyelamatan terhadap
jiwa ibu yang terancam.
b.
Abortus
Provocatus Criminalis
Adalah abortus yang dilakukan tanpa dasar indikasi medis. Abortus
ini biasanya dilakukan karena kehamilan yang tidak dikehendaki karena berbagai
alasan, baik faktor ekonomi, pergaulan bebas dan sebagainya.
Hukum
Abortus
Bahwa
kehidupan janin (anak dalam kandungan) menurut pandangan syari’at Islam
merupakan kehidupan yang harus dihormati, dengan menganggapnya sebagai suatu
wujud yang hidup yang wajib dijaga. Sehingga Islam memperbolehkan seorang
wanita hamil untuk buka puasa (tidak puasa) pada bulan ramadhan. Bahkan kadang
diwajibkan berbuka jika ia khawatir akan kesehatan kandungannya.
Karena
itu syari’at Islam mengharamkan tindakan yang melampaui batas terhadapnya.
Meskipun yang melakukan ayah atau ibunya sendiri yang telah mengandungnya
dengan susah payah. Bahkan terhadap kehamilan yang haram, yang dilakukan dengan
jalan perzinahan, janinnya tetap tidak boleh digugurkan, karena ia merupakan
manusia hidup yang tidak berdosa.
Firman
Allah dalam Q.S Al-isra’ yang artinya:
“...Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain...” (Al-Isra’:15)
Allah berfirman dalam QS. Al-Israa : 31
Allah berfirman dalam QS. Al-Israa : 31
“
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu Karena takut kemiskinan. kamilah yang
akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka
adalah suatu dosa yang besar.”
Dalam kitab UU hukum pidana (KUHP) indonesia melarang abortus dan sanksi hukumnya cukup berat. Hukumannya tidak hanya ditujukan kepada wanita yang bersangkutan tetapi semua pihak yang terlibat dalam kejahatan itu.
Ada
perbedaan pendapat para ulama tentang abortus yang dilakukan sebelum ditupkan
roh pada janin itu yaitu sebelum berumrur 4 Bulan :
1.
Muhammad
Ramli dalam kitab Al-Nihayah, membolehkan karena belum ada makhluk yang
bernyawa;
2.
Sebagian
Ulama memandang makruh dengan alasan janin sedang mengalami pertumbuhan;
3.
Ibn Hajar dalam
kitabnya Al-Tuhfah dan Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin mengharamkan
abortus;
4.
Mahmud Syaitut
eks Rektor Universitas Al-Azhar Mesir, menyatakan haram hukumnya sekalipun
janin belum diberi nyawa sebab sudah ada kehidupan pada kandungan yang sedang
mengalami pertumbuhan untuk menjadi manusia. Tetapi
apabila aborsi dilakukan karena benar-benar terpaksa demi menyelamatkan nyawa
Ibu maka Islam membolehkan
Bayi
Tabung
Bayi tabung adalah proses pembuahan sel telur
dan sperma di luar tubuh wanita. In vitro adalah bahasa latin yang berarti
dalam gelas atau tabung gelas, dan vertilization berasal dari bahasa Inggris
yang artinya pembuahan, sehingga dikenal dengan sebutan bayi tabung.
Dan pengertian bayi tabung menurut M.Ali
Hasan dalam bukunya yang berjudul Masail Fiqhiyah Al-Haditsah adalah bayi yang
didapatkan melalui proses pembuahan yang dilakukan di luar rahim sehingga
terjadi embrio tidak secara alamiah, melainkan dengan bantuan ilmu kedokteran.
Macam Bayi
Tabung:
1.
Bayi tabung dari pasangan suami isteri yang
sah
2.
Bayi tabung dengan donor sperma
3.
Bayi tabung dengan rahim yang disewa
Anak
Adopsi
Kata adopsi berarti pengangkatan seorang anak dijadikan seperti
anak kandung atau anak sendiri. Istilah pengangkatan anak dalam bahasa Arab
dikenal dengan istilah tabanni,
yang artinya mengambil anak angkat atau menjadikan seseorang sebagai anak
angkat.
Pengangkatan anak
dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah tabanni, yang artinya
mengambil anak angkat atau menjadikan seseorang sebagai anak.
QS. Al Ahzab ayat
4, ayat 5 dan ayat 40
Allah sekali-kali
tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya dan dia tidak menjadikan
istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan
anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah
perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang Sebenarnya dan dia
menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan
(memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan
jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai)
saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap
apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh
hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Ahzab : 4-5)
Muhammad itu
sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia
adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui
segala sesuatu. (QS.
Al-Ahzab : 40)
Status Hukum
Pengangkatan Anak
Agama Islam
menghendaki pemungutan dan pengangkatan anak dan lebih dititikberatkan kepada
kemanusiaan yaitu perawatan, pemeliharaan dan pendidikan anak tersebut.
Pengangkatan anak dalam islam dibolehkan, asal saja nasab anak tersebut tidak
dihilangkan. Semua ketentuan yang berlaku bagi anak kandung tidak boleh
diberlakukan bagi anak pungut dan anak angkat.
Sedangkan Agama
Islam membatalkan dan tidak mengakui adat-istiadat yang berlaku di masa
jahiliah itu, karena berdampak negatif. Anak angkat dipandang sebagai anak
kandung, yang semula boleh kawin kemudian diharamkan (mahram). Hukum mubah
menjadi haram dan hukum haram menjadi mubah.
QS Al Ahzab ayat
4-5
Allah sekali-kali
tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya dan dia tidak
menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan dia tidak
menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian
itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang Sebenarnya
dan dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu)
dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi
Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah
mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa
atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa
yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
QS Al Ahzab ayat
37
Dan (ingatlah),
ketika kamu Berkata kepada orang yang Allah Telah melimpahkan nikmat kepadanya
dan kamu (juga) Telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu
dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu
apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang
Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid Telah
mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu
dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini)
isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu Telah
menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. dan adalah ketetapan Allah itu
pasti terjadi.
Fatwa Majelis
Ulama Indonesia
Tentang
pengangkatan anak pada Maret 1984 atau Jumadil Akhir 1405 Hijriah:
1.
Islam mengakui keturunan (nasab) yang sah
ialah anak yang lahir dari perkawinan (pernikahan);
2.
Mengangkat anak dengan pengertian anak
tersebut putus hubungan keturunan (nasab) dengan ayah dan ibu kandungnya adalah
bertentangan dengan syariat Islam;
3.
Adapun pengangkatan anak dengan tidak mengubah
status nasab dan agamanya, dilakukan atas rasa tanggung jawab sosial untuk
memelihara, mengasuh dan mendidik mereka dengan penuh kasih sayang seperti anak
sendiri adalah perbuatan yang terpuji dan termasuk amal salih yang dianjurkan
oleh agama Islam;
4.
Pengangkatan anak Indonesia oleh warga Negara
asing selain bertentangan dengan UUD 45 juga merendahkan martabat bangsa.
Catatan:
1.
Bahwasannya status anak angkat dan anak
kandung tidaklah sama. Segala ketentuan yang dimiliki oleh anak kandung belum
tentu dapat dimiliki oleh anak angkat. Agama Islam menghendaki adanya
pengangkatan dan pemungutan anak, untuk mendidik, memelihara dan menjaganya.
Hanya saja nasab anak tersebut tidak boleh dihilangkan. Pengangkatan anak di
zaman jahiliah atau sebelum Nabi Muhammad menjadi Rasul sangat berbeda dengan
pengangkatan anak setelah Nabi Muhammad menjadi Rasul (setelah kenabian). Pada
masa jahiliah nasab anak angkat memakai nama orang tua angkatnya dan menghapus
nama orang tua kandungnya, anak angkat mendapatkan warisan (saling mewarisi).
Tetapi setelah Nabi Muhammad menjadi Rasul segala aturan tersebut berubah,
Allah SWT menegaskan bahwa anak angkat tidaklah sama dengan anak kandung.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Ahzab ayat 4-5, 37 dan 40;
2.
Anak angkat tidak mendapat warisan, akan
tetapi ia mendapat wasiat wajibah;
3.
Kewenangan dalam perwalian untuk menikahkan
tetap berada pada orang tua kandungnya.
Homoseksual
Homoseksual adalah hubungan seksual antara
orang-orang yang sama kelaminnya, baik sesame pria maupun sesame wanita, namun
biasanya istilah homosex itu dipakai untuk sex antar pria; sedangkan untuk sex
antar wanita, disebut lesbian(female homosex).
Homoseksual (liwath,
bhs. Arab) dilakukan dengan cara memasukan penis (zakar, bhs.
Arab) kedalam anus (dubur, bhs. Arab); sedangkan
lesbian dilakukan dengan cara melakukan masturbasi satu sama lain atau dengan
cara lainnya untuk mendapatkan orgasme (puncak kenikmatan atau climax
of the sex act)
Perbuatan kaum
homo, baik seks antar sesame pria (homoseksual), maupun seks antar sesame
wanita (lesbian) merupakan kejahatan (jarimah/jinayah, bhs. Arab) yang dapat
diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun menurut hokum pidana di
Indonesia (vide pasal 292 KUHP)
Menurut hokum
fiqh jinayah(hokum pidana Islam), homoseksual (liwath) termasuk dosa besar,
karena bertentangan dengan norma agama, norma susila, dan bertentangan pula
dengan sunnatulloh (God’s Law/ Natur Of law) dan fitrah manusia(human Nature)
sebab Alloh SWT menjadikan manusia terdiri dari pria dan wanita adalah untuk
berpasang-pasangan sebagai suami istri untuk mendapatkan keturunan yang sah dan
untuk memperoleh ketenangan dan kasih sayaing.
QS
Ar-Rum ayat 21
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ
أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
ۚ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (30:21)
”dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.
Dampak
Negatif
Menurut Dr.
Muhammad Rashfi di dalam kitabnya Al-Islam Wa al-Thib sebagaimana
dikutip oleh Sayid Sabiq:
1. Tidak tertarik
kepada wanita, tetapi justeru tertarik kepada pria sama kelaminnya. Akibatnya
kalau si homo itu kawin,maka istrinya menjadi korban (merana), karena suaminya
bias tidak mampu menjalankan tugas sebagai suami, dan si istri hidup tanpa
ketenangan dan kasih saying, serta ia tidak mendapatkan keturunan, sekalipun ia
subur;
2. Kelainan jiwanya
yang akibatnya mencintai sesame kelamin, tidak stabil jiwanya, dan timbul
tingkah laku yang aneh-aneh pada pria pasangan si homo. Misalnya ia bergaya
sesama seperti wanita dalam berpakaian, berhias, dan bertingkah laku;
3. Gangguan syaraf
otak, yang akibatnya bias melemahkan daya pikiran dan semangat/ kemauannya;
4. Penyakit AIDS,
yang menyebabkan penderitanya kekurangan/kehilangan daya ketahanan tubuhnya.
Penyakit AIDS ini belum ditemukan obatnya dan telah membawa korban banyak
sekali di Barat, khususnya di Amerika Serikat. Berdasarkan suevei di Amerika
Serikat pada Tahun 1985 terhadap 12.000 penderita AIDS, ternyata 73 % akibat
hubungan free sex, terutama homosex, 17% karena pecandu narkotik atau
sejenisnya, dan 2,5% akibat transfuse darah.
Hukum
dan Hukuman Homoseks
1. Imam Syafi’I,pasangan
homosex dihukum mati
Berdasarkan
hadits Nabi, riwayat Khomsah (lima Ahli Hadits Kecuali Al-Nasai) dari Ibnu
Abbas:
”Barangsiapa
menjumpai orang yang berbuat homosex seperti praktek kaum luth, maka bunuhlah
sipelaku dan yang diperlakukan (pasangannya)
Menurut
Al-Mundziri, khalifah Abu Bakar dan Ali pernah menghukum mati terhadap pasangan
homosex.
2. Al-Auzai, Abu
Yusuf dan lain-lain, hukumnya disamakan dengan hukuiman zina, yakni hukuman
dera dan pengasingan untuk yang belum kawin, dan dirajam untuk pelaku yang
sudah kawin
Berdasarkan
Hadits Nabi :
“Apabila
seorang pria melakukan hubungan sex dengan pria lain, maka kedua-duanya adalah
berbuat zina”
3. Abu Hanifah,
pelaku homosex dihukum ta’zir, sejenis hukuman yang bertujuan edukatif, dan
besar ringanya hukuman tazir diserahkan kepada pengadilan (Hakim).
Hukuman
Ta’zir dijatuhkan terhadap kejahatan atau pelanggaran yang tidak ditentukan
macam dan kadar hukumannya oleh nas Al-Qur’an dan
Hadits.
Menurut
Al-Syaukani, pendapat pertama adalah yang kuat, karena berdasarkan nas Shahih
(Hadits) yang jelas maknanya; sedangkan pendapat kedua dianggap lemah, karena
memakai dalil qias, padahal ada nash nya, dan sebab hadits yang dipakainya
lemah. Demikianpula pendapat ketiga, juga dipandang lemah, karena bertentangan
dengan nash yang telah menetapkan hukuman mati (hukuman had), bukan hukuman
ta’zir
Lesbian
Lesbian (female
homosexual), atau sahaq (bhs. Arab), para ahli fiqh juga sepakat
mengharamkannya, berdasarkan Hadits Nabi riwayat Ahmad, Abu daud, Muslim, dan
Al-Tirmidzi :
لَايَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ
الرَّجُلَ وَلَا الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلَا يَغُضُّ الرَّجُلُ إَلَى
الرَّجُلِ فِى الثَّوْبِ الْوَاحِدِ وَلَا تََغُضُ الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِى
الثَّوْبِ الْوَاحِدِ
”Janganlah
pria melihat aurat pria lain dan janganlah wanita melihat aurat wanita lain dan
janganlah bersentuhan pria dengan pria lain dibawah sehelai selimut/kain, dan
janganlah pula wanita bersentuhan dengan wanita lain dibawah sehelai
selimut/kain”
Menurut Sayid
Sabiq, lesbian ini dihukum ta’zir, suatu hukuman yang macam dan berat ringannya
diserahkan kepada pengadilan. Jadi, hukumannya lebih ringan daripada
homoseksual, karena bahaya/risikonya lebih ringan dibandingkan dengan bahaya
homosexual, karena lesbian itu bersentuhan langsung tanpa memasukan alat
kelaminnya; seperti halnya seorang pria bersentuhan langsung (pacaran) dengan
wanita bukan istrinya tanpa memasukan penisnya kedalam vagina. Perbuatan
semacam ini tetap haram, sekalipun bukan zina, tetapi dapat dikenakan hukuman
ta’zir seperti lesbian diatas.
Onani
(istimna’bil yadi, bhs. Arab)
Onani
(istimna’bil yadi, bhs. Arab), yakni masturbasi dengan tangan
sendiri. Islam memandangnya sebagai perbuatan yang tidak etis dan tidak pantas
dilakukan. Namun, para ahli Hukum Fiqh berbeda pendapat tentang hukumnya.
1. Ulama Maliki,
Syafii dan Zaidi mengharamkan secara Mutlak, berdasarkan Al-Qur’an Surat Al-Mu’minun
ayat 5-7:
”dan
orang-orang yang menjaga kemaluannya,kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau
budak yang mereka miliki[994]; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada
terceIa.Barangsiapa mencari yang di balik itu[995] Maka mereka Itulah
orang-orang yang melampaui batas”.
2. Ulama Hanafi
secara prinsip mengharamkan onani, tetapi dalam keadaan gawat, yakni orang yang
memuncak nafsu seksnya dan khawatir berbuat zina, maka ia boleh, bahkan wajib
berbuat onani demi menyelamatkan dirinya dari perbuatan zina yang jauh lebih
besar dosa dan bahayanya daripada onani. Hal ini sejalan dengan kaidah fiqh
”Wajib
menempuh bahaya yang lebih ringan diantara dua bahaya”
3. Ulama Hambali
mengharamkan onani, kecuali kalau orang takut berbuat zina (karena terdorong
nafsu seksnya yang kuat), atau khawatir terganggu kesehatannya, sedangkan ia
tidak mempunyai istri atau amat (budak wanita), dan ia tidak mampu kawin, maka
ia tidak berdosa berbuat onani.
Menurut pendapat kedua dan ketiga
diatas, onani hanya diperbolehkan dalam keadaan terpaksa. Sudah barang tentu
yang diperbolehkan dalam keadaan terpaksa (darurat) itu dibatasi seminimal
mungkin penggunaannya, dalam hal ini perbuatan onani itu
Hal ini sesuai dengan kaidah Fiqh :
مَاأُبِيْحَ لِلضَّرُوْرَةِ يُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا
“Sesuatu yang diperbolehkan karena
darurat, hanya boleh sekadarnya saja”
Kaidah fiqh ini berdasarkan firman
Alloh dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat173 :
4. Ibnu Hazm
memandang makruh onani, tidak berdosa, tetapi tidak etis.
5. Ibnu Abbas,
Al-Hasan, dan lain-lain membolehkan onani.
Kata
Al-Hasan, “Orang Islam dahulu melakukannya dalam waktu peperangan (jauh dari
keluarga/istri).”
Dan
kata Mujahid, seorang ahli tafsir, murid Ibnu Abbas, “Orang Islam dahulu
(sahabat Nabi) mentoleransi para remaja/pemudanya melakukan onani/masturbasi.”
Dan
hokum mubah berbuat onaniini berlaku baik untuk pria maupun wanita.
Menurut hemat
penulis, lebih cenderung kepada pendapat yang kedua dan ketiga yaitu
membolehkannya dengan dasar keadaan gawat, artinya ketika hawa nafsu seksual
memuncak agama memberikan jalan alternative dengan menyalurkan kedalam bentuk
lain seperti onani, karna belum menikah ataupun belum mempunyai penyaluran
seksual yang sah menurut agama. Apalagi kalau dalam keadaan di medan perang
atau masa remaja. Tetapi tidak boleh dijadikan kebiasaan atau rutinitas sehari-hari,
sebab seperti kaidah usul fiqh tadi hanya sekedarnya saja dalam keadaan
tertentu tidak dijadikan aktivitas rutinitas. Sebab kalaupun dilakukan secara
rutinitas akibatnya bias mengganggu kesehatan jasmani dan kesehatan rohani
(mental). Juga bias melemahkan potensi kelaminnya, serta kemampuan
ejakulasinya, sehingga menjadi sebab gagalnya sel sperma pria menerobos masuk
untuk bertemu dengan sel telur wanita (ovum)
Perkawinan
Beda Agama
Pernikahan Wanita Muslimah dan Pria Non Muslim
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ
اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ
إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka
hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan
mereka. Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka
janganlah kamu kembalikan mereka (wanita mukmin) kepada (suami-suami mereka)
orang-orang kafir. Mereka (wanita mukmin) tiada halal bagi orang-orang kafir
itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (QS. Al Mumtahanah: 10)
Pendalilan dari ayat ini dapat kita lihat pada
dua bagian. Bagian pertama pada ayat,
فَلَا
تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ
“Janganlah kamu kembalikan
mereka (wanita mukmin) kepada suami mereka yang kafir”
Bagian kedua pada ayat,
لَا
هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ
“Mereka (wanita mukmin) tiada
halal bagi orang-orang kafir itu”
Dari dua sisi ini, sangat jelas bahwa tidak
boleh wanita muslim menikah dengan pria non muslim (agama apa pun itu).
Ayat ini sungguh meruntuhkan argumen
orang-orang liberal yang menghalalkan pernikahan semacam itu. Firman Allah
tentu saja kita mesti junjung tinggi daripada mengikuti pemahaman mereka (kaum
liberal) yang dangkal dan jauh dari pemahaman Islam yang benar.
Penjelasan Ulama Islam Tentang Pernikahan
Wanita Muslimah dengan Pria Non Muslim
Para ulama telah menjelaskan tidak bolehnya
wanita muslimah menikah dengan pria non muslim berdasarkan pemahaman ayat di
atas (surat Al Mumtahanah ayat 10), bahkan hal ini telah menjadi ijma’
(kesepakatan) para ulama.
Al Qurthubi rahimahullah mengatakan,
وأجمعت
الامة على أن المشرك لا يطأ المؤمنة بوجه، لما في ذلك من الغضاضة على الاسلام.
“Para ulama kaum muslimin telah sepakat tidak
bolehnya pria musyrik (non muslim) menikahi (menyetubuhi) wanita muslimah apa
pun alasannya. Karena hal ini sama saja merendahkan martabat Islam.”
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,
هذه
الآية هي التي حَرّمَت المسلمات على المشركين
“Ayat ini (surat Al Mumtahanah ayat 10)
menunjukkan haramnya wanita muslimah menikah dengan laki-laki musyrik (non
muslim)”.
Asy Syaukani rahimahullah dalam
kitab tafsirnya mengatakan,
وفيه
دليل على أن المؤمنة لا تحلّ لكافر ، وأن إسلام المرأة يوجب فرقتها من زوجها لا مجرّد
هجرتها
“Ayat ini (surat Al Mumtahanah ayat 10)
merupakan dalil bahwa wanita muslimah tidaklah halal bagi orang kafir (non
muslim). Keislaman wanita tersebut mengharuskan ia untuk berpisah dari suaminya
dan tidak hanya berpindah tempat (hijrah)”
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah mengatakan,
وكما أن المسلمة لا تحل للكافر، فكذلك الكافرة لا تحل للمسلم أن يمسكها ما دامت على كفرها، غير أهل الكتاب،
“Sebagaimana wanita muslimah tidak halal bagi
laki-laki kafir, begitu pula wanita kafir tidak halal bagi laki-laki muslim
untuk menahannya dalam kekafirannya, kecuali diizinkan wanita ahli kitab (dinikahkan
dengan pria muslim).”
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Orang kafir (non muslim)
tidaklah halal menikahi wanita muslimah. Hal ini berdasarkan nash (dalil tegas)
dan ijma’ (kesepakatan ulama). Allah Ta’alaberfirman
(yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang
berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji
(keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka. Jika kamu
telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu
kembalikan mereka (wanita mukmin) kepada (suami-suami mereka) orang-orang
kafir. Mereka (wanita mukmin) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan
orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” Wanita muslimah
sama sekali tidak halal bagi orang kafir (non muslim) sebagaimana disebutkan
sebelumnya, meskipun kafirnya adalah kafir tulen (bukan orang yang murtad dari
Islam). Oleh karena itu, jika ada wanita muslimah menikah dengan pria non
muslim, maka nikahnya batil (tidak sah).
Syaikh ‘Athiyah Muhammad Salim hafizhohullah dalam Kitab Adhwaul Bayan (yang di mana beliau menyempurnakan
tulisan gurunya , Syaikh Asy Syinqithi), memberi alasan kenapa wanita muslimah
tidak dibolehkan menikahi pria non muslim, namun dibolehkan jika pria muslim
menikahi wanita ahli kitab. Di antara alasan yang beliau kemukakan: Islam itu
tinggi dan tidak mungkin ditundukkan agama yang lain. Sedangkan keluarga tentu
saja dipimpin oleh laki-laki. Sehingga suami pun bisa memberi pengaruh agama
kepada si istri. Begitu pula anak-anak kelak harus mengikuti ayahnya dalam hal
agama. Dengan alasan inilah wanita muslimah tidak boleh menikah dengan
pria non muslim.
Pernikahan Pria Muslim dengan Wanita Ahli
Kitab
Diperbolehkan pria muslim menikahi wanita ahli
kitab (Yahudi dan Nashrani) selama wanita tersebut adalah wanita yang selalu
menjaga kehormatannya serta tidak merusak agama si suami dan anak-anaknya.
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
الْيَوْمَ
أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ
وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ
مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ
“Pada hari ini dihalalkan bagimu
yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal
bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan
mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang
beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang
diberi Al Kitab sebelum kamu.” (QS. Al Maidah: 5)
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
“Wanita ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) boleh dinikahi oleh laki-laki muslim
berdasarkan ayat ini.”
Yang dimaksud di sini, seorang pria muslim
dibolehkan menikahi wanita ahli kitab, namun bukan wajib dan bukan
sunnah, cuma dibolehkan saja. Dan sebaik-baik wanita yang dinikahi
oleh pria muslim tetaplah seorang wanita muslimah. Wanita ahli kitab di sini
yang dimaksud adalah wanita Yahudi dan Nashrani. Agama Yahudi dan Nashrani dari
dahulu dan sekarang dimaksudkan untuk golongan yang sama dan sama sejak dahulu (di
masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam),
yaitu wahyu mereka telah menyimpang.
Catatan penting di sini, jika memang laki-laki
muslim boleh menikah dengan wanita ahli kitab, maka pernikahan tentu saja bukan
di gereja. Dan juga ketika memiliki anak, anak bukanlah diberi kebebasan
memilih agama. Anak harus mengikuti agama ayahnya yaitu Islam. Lihat keterangan
dari Syaikh ‘Athiyah Muhammad Salim di atas.
Sedangkan selain ahli kitab (seperti Hindu,
Budha, Konghucu) yang disebut wanita musyrik, haram untuk dinikahi. Hal ini
berdasarkan kesepakatan para fuqoha.
Dasarnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَلاَ
تَنكِحُواْ الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ
وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih
baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.” (QS. Al
Baqarah: 221)
Menurut para ulama, laki-laki muslim sama
sekali tidak boleh menikahi wanita yang murtad meskipun ia masuk agama Nashrani
atau Yahudi kecuali jika wanita tersebut mau masuk kembali pada Islam.
Comments
Post a Comment