Kisi-kisi Materi Masailul Fiqhiyah

Masailul Fikhiyah

Secara etimologi, masa>il al-fiqhi>yah merupakan susunan kata dalam bentuk kata majmuk (idhafah) yang berasal dari kata masail dan fiqh. Katamasail merupakan bentuk plural (jama’) dari kata mas-alah yang merupakan bentuk kata abstarak (mashdar) dari akar kata bahasa Arab sa-ala, yas-alu, sualan wa mas-alatan yang berarti meminta atau mempertanyakan tentang suatu perkara.

Dalam al-Ta’rifat disebutkan, bahwa makna terminologis dari kata al-masail adalah perkara-perkara yang dapat dijadikan sebagai dasar pengetahuan yang bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan yang komprehensif atas perkara-perkara tersebut atau dengan kata lain data-data faktual yang dapat dijadika sebagai dasar penelitian dan pengkajian.




Dengan demikian, maka yang dimaksud dengan mas-alah (bentuk singular dari kata masa>il ) adalah segala perkara yang membutuhkan dalil dan penjelasan dengan jalan mepertanyakan apa dan bagaimana perkara tersebut. Pertanyaan-pertanyaan tersebut selanjutnya membentuk sebuah bangunan keilmuan secara integral dan komperehensif. Oleh karena itu, dalam berbagai karya-karya fiqh dapat ditemukan berbagai istilah seperti:mas-alah, fi>hi masa>il (di dalamnya terdapat berbagai permasalahan), dan sebagainya. Selanjutnya, mereka menjelaskan berbagai dalil, petunjuk, dan menjawab berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan perkara tersebut. Dengan dasar itu, kemudian menyuguhkan hasil dan kesimpulan-kesimpulan hukum.

Kata fiqh secara umum bermakna menemukan sesuatu dan mengetahuinya. Jadi, segala bentuk pengetahuan atas suatu perkara disebut sebagai fiqh.

Para ulama berbeda pendapat tentang fiqh secara terminologis, dimana para ulama ushul mendefenisikannya sebagai ilmu yang tentang cabang-cabang hukum syari’at yang didasarkan pada dalil-dali yang terperinci. Sementara menurut para ulama fiqh mendefenisikannya sebagai bentuk penjagaan atas cabang-cabang hukum Islam, sedang menurut ulama tasawwuf, fiqh merupakan bentuk integrasi antara ilmu dan amal.

Menurut Ibn Khaldun, fiqh merupakan ilmu yang membahas tentang hukum-hukum Allah yang ditetapkan atas mukallaf dalam bentuk wajib, haram, mandub (sunnah), makruh, dan mubah yang didasarkan pada al-Qur’an, al-Sunnah, dan dalil-dalil lain yang sejalan dengan keduanya. Jika dari dalil-dalil tersebut dapat dismpulkan berbagai produk hukum, maka itulah yang disebut dengan fiqh.

Berdasarkan pengertian etimologis dan terminologis dari kata masa>il dan fiqh di atas, maka yang dimaksud dengan masa>il al-fiqhi>yah adalah perkara-perkara yang berhubungan dengan hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliyah dalam seluruh dimensinya berdasarkan petunjuk-petunjuk dalil-dalil yang terperinci. Dapat juga difahami sebagai persoalan – persoalan fiqh yang muncul dan terjadi dalam konteks manusia moderen sebagai refleksi kompleksitas problematika pada suatu tempat, kondisi dan waktu. Dan persoalan tersebut belum pernah terjadi pada waktu yang lalu, karena adanya perbedaan situasi yang melingkupinya.

Obyek Kajian

Dengan lahirnya masail al-fiqihiyah atau persoalan-persoalan kontemporer, baik yang sudah terjawab maupun sedang diselesaikan, bahkan prediksi munculnya persoalan baru mendorong kaum muslimin belajar dengan giat meneliti dan memahami berbagai metodologi penyelesaian masalah yang dilalui oleh para ulama baik klasik (mutaqddimin) maupun kontemporer (muta-akhkhirin).

Dari sudut fiqh penyelesaian suatu masalah dikembalikan kepada sumber pokok  yaitu; al-Qur’an dan al-Sunnah, kemudian ijma’, qiyas dan seterusnya. Sehingga produk hukum (istinba>th al-hukm) yang dihasilkan senantiasa berada dalam koridor yang benar.

Tujuan dan Keutamaan Mempelajarinya

Tujuan mempelajari masail al-fiqhi>yah secara garis besar bertjuan mengetahui jawaban syari’at Islam tentang berbagai persoalan-persoalan kontemporer dan menyelesaikannya melalui metodologi ilmiah secara sistematis dan analitis.

Adapun keutamaan mepelajari masa>il al-fiqhi>yah di antaranya:

1.       Memperbaiki kulitas hidup dan penghidupan manusia secara individu dan kolektif agar dapat menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat;
2.       Menegakkan keadilan dalam masyarakat Islam; dan
3.       Mewujudkan kemaslahatan dengan keyakinan bahwa tidak ada hal yang sia-sia dalam syari’at melalui al-Qur’an dan al-Sunnah kecuali di dalamnya terdapat kemaslahatan hakiki untuk seluruh umat manusia.

Aborsi

Abortus secara bahasa berasal dari Bahasa Inggris abortion, yang berarti keguguran kandungan. Sedangkan menurut istilah abortus adalah berakhirnya kehamilan sebelum kehamilan berumur 16 minggu. Abortus merupakan suatu perbuatan untuk mengakhiri masa kehamilan dengan mengeluarkan janin dari kandungan, sebelum janin itu dapat hidup diluar kandungan seorang ibu.

Macam-macam Abortus

1. Abortus spontan (spontaneus abortus).

Abortus yang tidak disengaja, terjadi karena sebab-sebab alamiah, misalnya karean penyakit syphilis, kecelakaan dan sebagainya. Abortus semacam ini tidak menimbulkan dampak hukum, karena hal ini terjadi diluar kehendak dan kuasa manusia.

2. Abortus buatan atau disengaja

Yakni abortus yang dilakukan sengaja atas usaha manusia. Abortus ini dibagi dalam dua macam, yakni:

a.       Abortus artificialis Therapicus
Yaitu, abortus yang dilakukan tanpa dasar indikasi medis. abortus ini biasanya dilakukan terhadap penyelamatan terhadap jiwa ibu yang terancam.

b.      Abortus Provocatus Criminalis
Adalah abortus yang dilakukan tanpa dasar indikasi medis. Abortus ini biasanya dilakukan karena kehamilan yang tidak dikehendaki karena berbagai alasan, baik faktor ekonomi, pergaulan bebas dan sebagainya.

Hukum Abortus

Bahwa kehidupan janin (anak dalam kandungan) menurut pandangan syari’at Islam merupakan kehidupan yang harus dihormati, dengan menganggapnya sebagai suatu wujud yang hidup yang wajib dijaga. Sehingga Islam memperbolehkan seorang wanita hamil untuk buka puasa (tidak puasa) pada bulan ramadhan. Bahkan kadang diwajibkan berbuka jika ia khawatir akan kesehatan kandungannya.

Karena itu syari’at Islam mengharamkan tindakan yang melampaui batas terhadapnya. Meskipun yang melakukan ayah atau ibunya sendiri yang telah mengandungnya dengan susah payah. Bahkan terhadap kehamilan yang haram, yang dilakukan dengan jalan perzinahan, janinnya tetap tidak boleh digugurkan, karena ia merupakan manusia hidup yang tidak berdosa.

Firman Allah dalam Q.S Al-isra’ yang artinya:

“...Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain...” (Al-Isra’:15)

Allah berfirman dalam QS. Al-Israa : 31

“ Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu Karena takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.

Dalam kitab UU hukum pidana (KUHP) indonesia melarang abortus dan sanksi hukumnya cukup berat. Hukumannya tidak hanya ditujukan kepada wanita yang bersangkutan tetapi semua pihak yang terlibat dalam kejahatan itu.

Ada perbedaan pendapat para ulama tentang abortus yang dilakukan sebelum ditupkan roh pada janin itu yaitu sebelum berumrur 4 Bulan :

          1.         Muhammad Ramli dalam kitab Al-Nihayah, membolehkan karena belum ada makhluk yang bernyawa;
          2.         Sebagian Ulama memandang makruh dengan alasan janin sedang mengalami pertumbuhan;
          3.         Ibn Hajar dalam kitabnya Al-Tuhfah dan Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin mengharamkan abortus;
          4.         Mahmud Syaitut eks Rektor Universitas Al-Azhar Mesir, menyatakan haram hukumnya sekalipun janin belum diberi nyawa sebab sudah ada kehidupan pada kandungan yang sedang mengalami pertumbuhan untuk menjadi manusia. Tetapi apabila aborsi dilakukan karena benar-benar terpaksa demi menyelamatkan nyawa Ibu maka Islam membolehkan

Bayi Tabung

Bayi tabung adalah proses pembuahan sel telur dan sperma di luar tubuh wanita. In vitro adalah bahasa latin yang berarti dalam gelas atau tabung gelas, dan vertilization berasal dari bahasa Inggris yang artinya pembuahan, sehingga dikenal dengan sebutan bayi tabung.

Dan pengertian bayi tabung menurut M.Ali Hasan dalam bukunya yang berjudul Masail Fiqhiyah Al-Haditsah adalah bayi yang didapatkan melalui proses pembuahan yang dilakukan di luar rahim sehingga terjadi embrio tidak secara alamiah, melainkan dengan bantuan ilmu kedokteran.

Macam Bayi Tabung:

1.       Bayi tabung dari pasangan suami isteri yang sah
2.       Bayi tabung dengan donor sperma
3.       Bayi tabung dengan rahim yang disewa

Anak Adopsi

Kata adopsi berarti pengangkatan seorang anak dijadikan seperti anak kandung atau anak sendiri. Istilah pengangkatan anak dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah tabanni, yang artinya mengambil anak angkat atau menjadikan seseorang sebagai anak angkat.

Pengangkatan anak dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah tabanni, yang artinya mengambil anak angkat atau menjadikan seseorang sebagai anak.

QS. Al Ahzab ayat 4, ayat 5 dan ayat 40

Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang Sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Ahzab : 4-5)

Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Ahzab : 40)

Status Hukum Pengangkatan Anak

Agama Islam menghendaki pemungutan dan pengangkatan anak dan lebih dititikberatkan kepada kemanusiaan yaitu perawatan, pemeliharaan dan pendidikan anak tersebut. Pengangkatan anak dalam islam dibolehkan, asal saja nasab anak tersebut tidak dihilangkan. Semua ketentuan yang berlaku bagi anak kandung tidak boleh diberlakukan bagi anak pungut dan anak angkat.

Sedangkan Agama Islam membatalkan dan tidak mengakui adat-istiadat yang berlaku di masa jahiliah itu, karena berdampak negatif. Anak angkat dipandang sebagai anak kandung, yang semula boleh kawin kemudian diharamkan (mahram). Hukum mubah menjadi haram dan hukum haram menjadi mubah.

QS Al Ahzab ayat 4-5

Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang Sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

QS Al Ahzab ayat 37

Dan (ingatlah), ketika kamu Berkata kepada orang yang Allah Telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) Telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid Telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu Telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia

Tentang pengangkatan anak pada Maret 1984 atau Jumadil Akhir 1405 Hijriah:

1.       Islam mengakui keturunan (nasab) yang sah ialah anak yang lahir dari perkawinan (pernikahan);
2.       Mengangkat anak dengan pengertian anak tersebut putus hubungan keturunan (nasab) dengan ayah dan ibu kandungnya adalah bertentangan dengan syariat Islam;
3.       Adapun pengangkatan anak dengan tidak mengubah status nasab dan agamanya, dilakukan atas rasa tanggung jawab sosial untuk memelihara, mengasuh dan mendidik mereka dengan penuh kasih sayang seperti anak sendiri adalah perbuatan yang terpuji dan termasuk amal salih yang dianjurkan oleh agama Islam;
4.       Pengangkatan anak Indonesia oleh warga Negara asing selain bertentangan dengan UUD 45 juga merendahkan martabat bangsa.

Catatan:
1.       Bahwasannya status anak angkat dan anak kandung tidaklah sama. Segala ketentuan yang dimiliki oleh anak kandung belum tentu dapat dimiliki oleh anak angkat. Agama Islam menghendaki adanya pengangkatan dan pemungutan anak, untuk mendidik, memelihara dan menjaganya. Hanya saja nasab anak tersebut tidak boleh dihilangkan. Pengangkatan anak di zaman jahiliah atau sebelum Nabi Muhammad menjadi Rasul sangat berbeda dengan pengangkatan anak setelah Nabi Muhammad menjadi Rasul (setelah kenabian). Pada masa jahiliah nasab anak angkat memakai nama orang tua angkatnya dan menghapus nama orang tua kandungnya, anak angkat mendapatkan warisan (saling mewarisi). Tetapi setelah Nabi Muhammad menjadi Rasul segala aturan tersebut berubah, Allah SWT menegaskan bahwa anak angkat tidaklah sama dengan anak kandung. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Ahzab ayat 4-5, 37 dan 40;
2.       Anak angkat tidak mendapat warisan, akan tetapi ia mendapat wasiat wajibah;
3.       Kewenangan dalam perwalian untuk menikahkan tetap berada pada orang tua kandungnya.

Homoseksual

Homoseksual adalah hubungan seksual antara orang-orang yang sama kelaminnya, baik sesame pria maupun sesame wanita, namun biasanya istilah homosex itu dipakai untuk sex antar pria; sedangkan untuk sex antar wanita, disebut lesbian(female homosex).

Homoseksual (liwath, bhs. Arab) dilakukan dengan cara memasukan penis (zakar, bhs. Arab) kedalam anus (dubur, bhs. Arab); sedangkan lesbian dilakukan dengan cara melakukan masturbasi satu sama lain atau dengan cara lainnya untuk mendapatkan orgasme (puncak kenikmatan atau climax of the sex act)

Perbuatan kaum homo, baik seks antar sesame pria (homoseksual), maupun seks antar sesame wanita (lesbian) merupakan kejahatan (jarimah/jinayah, bhs. Arab) yang dapat diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun menurut hokum pidana di Indonesia (vide pasal 292 KUHP)

Menurut hokum fiqh jinayah(hokum pidana Islam), homoseksual (liwath) termasuk dosa besar, karena bertentangan dengan norma agama, norma susila, dan bertentangan pula dengan sunnatulloh (God’s Law/ Natur Of law) dan fitrah manusia(human Nature) sebab Alloh SWT menjadikan manusia terdiri dari pria dan wanita adalah untuk berpasang-pasangan sebagai suami istri untuk mendapatkan keturunan yang sah dan untuk memperoleh ketenangan dan kasih sayaing.

QS Ar-Rum ayat 21

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (30:21)

”dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.

Dampak Negatif
Menurut Dr. Muhammad Rashfi di dalam kitabnya Al-Islam Wa al-Thib sebagaimana dikutip oleh Sayid Sabiq:
1.       Tidak tertarik kepada wanita, tetapi justeru tertarik kepada pria sama kelaminnya. Akibatnya kalau si homo itu kawin,maka istrinya menjadi korban (merana), karena suaminya bias tidak mampu menjalankan tugas sebagai suami, dan si istri hidup tanpa ketenangan dan kasih saying, serta ia tidak mendapatkan keturunan, sekalipun ia subur;
2.       Kelainan jiwanya yang akibatnya mencintai sesame kelamin, tidak stabil jiwanya, dan timbul tingkah laku yang aneh-aneh pada pria pasangan si homo. Misalnya ia bergaya sesama seperti wanita dalam berpakaian, berhias, dan bertingkah laku;
3.       Gangguan syaraf otak, yang akibatnya bias melemahkan daya pikiran dan semangat/ kemauannya;
4.       Penyakit AIDS, yang menyebabkan penderitanya kekurangan/kehilangan daya ketahanan tubuhnya. Penyakit AIDS ini belum ditemukan obatnya dan telah membawa korban banyak sekali di Barat, khususnya di Amerika Serikat. Berdasarkan suevei di Amerika Serikat pada Tahun 1985 terhadap 12.000 penderita AIDS, ternyata 73 % akibat hubungan free sex, terutama homosex, 17% karena pecandu narkotik atau sejenisnya, dan 2,5% akibat transfuse darah.

Hukum dan Hukuman Homoseks

1.       Imam Syafi’I,pasangan homosex dihukum mati
Berdasarkan hadits Nabi, riwayat Khomsah (lima Ahli Hadits Kecuali Al-Nasai) dari Ibnu Abbas:
”Barangsiapa menjumpai orang yang berbuat homosex seperti praktek kaum luth, maka bunuhlah sipelaku dan yang diperlakukan (pasangannya)

Menurut Al-Mundziri, khalifah Abu Bakar dan Ali pernah menghukum mati terhadap pasangan homosex.

2.       Al-Auzai, Abu Yusuf dan lain-lain, hukumnya disamakan dengan hukuiman zina, yakni hukuman dera dan pengasingan untuk yang belum kawin, dan dirajam untuk pelaku yang sudah kawin

Berdasarkan Hadits Nabi :
“Apabila seorang pria melakukan hubungan sex dengan pria lain, maka kedua-duanya adalah berbuat zina”

3.       Abu Hanifah, pelaku homosex dihukum ta’zir, sejenis hukuman yang bertujuan edukatif, dan besar ringanya hukuman tazir diserahkan kepada pengadilan (Hakim).

Hukuman Ta’zir dijatuhkan terhadap kejahatan atau pelanggaran yang tidak ditentukan macam dan kadar  hukumannya oleh nas Al-Qur’an dan Hadits.

Menurut Al-Syaukani, pendapat pertama adalah yang kuat, karena berdasarkan nas Shahih (Hadits) yang jelas maknanya; sedangkan pendapat kedua dianggap lemah, karena memakai dalil qias, padahal ada nash nya, dan sebab hadits yang dipakainya lemah. Demikianpula pendapat ketiga, juga dipandang lemah, karena bertentangan dengan nash yang telah menetapkan hukuman mati (hukuman had), bukan hukuman ta’zir

Lesbian

Lesbian (female homosexual), atau sahaq (bhs. Arab), para ahli fiqh juga sepakat mengharamkannya, berdasarkan Hadits Nabi riwayat Ahmad, Abu daud, Muslim, dan Al-Tirmidzi :

لَايَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلَ وَلَا الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلَا يَغُضُّ الرَّجُلُ إَلَى الرَّجُلِ فِى الثَّوْبِ الْوَاحِدِ وَلَا تََغُضُ الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِى الثَّوْبِ الْوَاحِدِ  

”Janganlah pria melihat aurat pria lain dan janganlah wanita melihat aurat wanita lain dan janganlah bersentuhan pria dengan pria lain dibawah sehelai selimut/kain, dan janganlah pula wanita bersentuhan dengan wanita lain dibawah sehelai selimut/kain”

Menurut Sayid Sabiq, lesbian ini dihukum ta’zir, suatu hukuman yang macam dan berat ringannya diserahkan kepada pengadilan. Jadi, hukumannya lebih ringan daripada homoseksual, karena bahaya/risikonya lebih ringan dibandingkan dengan bahaya homosexual, karena lesbian itu bersentuhan langsung tanpa memasukan alat kelaminnya; seperti halnya seorang pria bersentuhan langsung (pacaran) dengan wanita bukan istrinya tanpa memasukan penisnya kedalam vagina. Perbuatan semacam ini tetap haram, sekalipun bukan zina, tetapi dapat dikenakan hukuman ta’zir seperti lesbian diatas.

Onani (istimna’bil yadi, bhs. Arab)

Onani (istimna’bil yadi, bhs. Arab), yakni masturbasi dengan tangan sendiri. Islam memandangnya sebagai perbuatan yang tidak etis dan tidak pantas dilakukan. Namun, para ahli Hukum Fiqh berbeda pendapat tentang hukumnya.

1.       Ulama Maliki, Syafii dan Zaidi mengharamkan secara Mutlak, berdasarkan Al-Qur’an Surat Al-Mu’minun ayat 5-7:

”dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki[994]; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa.Barangsiapa mencari yang di balik itu[995] Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas”.

2.       Ulama Hanafi secara prinsip mengharamkan onani, tetapi dalam keadaan gawat, yakni orang yang memuncak nafsu seksnya dan khawatir berbuat zina, maka ia boleh, bahkan wajib berbuat onani demi menyelamatkan dirinya dari perbuatan zina yang jauh lebih besar dosa dan bahayanya daripada onani. Hal ini sejalan dengan kaidah fiqh
”Wajib menempuh bahaya yang lebih ringan diantara dua bahaya”

3.       Ulama Hambali mengharamkan onani, kecuali kalau orang takut berbuat zina (karena terdorong nafsu seksnya yang kuat), atau khawatir terganggu kesehatannya, sedangkan ia tidak mempunyai istri atau amat (budak wanita), dan ia tidak mampu kawin, maka ia tidak berdosa berbuat onani.

Menurut pendapat kedua dan ketiga diatas, onani hanya diperbolehkan dalam keadaan terpaksa. Sudah barang tentu yang diperbolehkan dalam keadaan terpaksa (darurat) itu dibatasi seminimal mungkin penggunaannya, dalam hal ini perbuatan onani itu

Hal ini sesuai dengan kaidah Fiqh :

مَاأُبِيْحَ لِلضَّرُوْرَةِ يُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا

“Sesuatu yang diperbolehkan karena darurat, hanya boleh sekadarnya saja”

Kaidah fiqh ini berdasarkan firman Alloh dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat173 :

4.       Ibnu Hazm memandang makruh onani, tidak berdosa, tetapi tidak etis.

5.       Ibnu Abbas, Al-Hasan, dan lain-lain membolehkan onani.

Kata Al-Hasan, “Orang Islam dahulu melakukannya dalam waktu peperangan (jauh dari keluarga/istri).”

Dan kata Mujahid, seorang ahli tafsir, murid Ibnu Abbas, “Orang Islam dahulu (sahabat Nabi) mentoleransi para remaja/pemudanya melakukan onani/masturbasi.”
Dan hokum mubah berbuat onaniini berlaku baik untuk pria maupun wanita.

Menurut hemat penulis, lebih cenderung kepada pendapat yang kedua dan ketiga yaitu membolehkannya dengan dasar keadaan gawat, artinya ketika hawa nafsu seksual memuncak agama memberikan jalan alternative dengan menyalurkan kedalam bentuk lain seperti onani, karna belum menikah ataupun belum mempunyai penyaluran seksual yang sah menurut agama. Apalagi kalau dalam keadaan di medan perang atau masa remaja. Tetapi tidak boleh dijadikan kebiasaan atau rutinitas sehari-hari, sebab seperti kaidah usul fiqh tadi hanya sekedarnya saja dalam keadaan tertentu tidak dijadikan aktivitas rutinitas. Sebab kalaupun dilakukan secara rutinitas akibatnya bias mengganggu kesehatan jasmani dan kesehatan rohani (mental). Juga bias melemahkan potensi kelaminnya, serta kemampuan ejakulasinya, sehingga menjadi sebab gagalnya sel sperma pria menerobos masuk untuk bertemu dengan sel telur wanita (ovum)


Perkawinan Beda Agama

Pernikahan Wanita Muslimah dan Pria Non Muslim

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ

Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka. Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka (wanita mukmin) kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka (wanita mukmin) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. (QS. Al Mumtahanah: 10)

Pendalilan dari ayat ini dapat kita lihat pada dua bagian. Bagian pertama pada ayat,

فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ

Janganlah kamu kembalikan mereka (wanita mukmin) kepada suami mereka yang kafir

Bagian kedua pada ayat,

لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ

Mereka (wanita mukmin) tiada halal bagi orang-orang kafir itu

Dari dua sisi ini, sangat jelas bahwa tidak boleh wanita muslim menikah dengan pria non muslim (agama apa pun itu).

Ayat ini sungguh meruntuhkan argumen orang-orang liberal yang menghalalkan pernikahan semacam itu. Firman Allah tentu saja kita mesti junjung tinggi daripada mengikuti pemahaman mereka (kaum liberal) yang dangkal dan jauh dari pemahaman Islam yang benar.

Penjelasan Ulama Islam Tentang Pernikahan Wanita Muslimah dengan Pria Non Muslim

Para ulama telah menjelaskan tidak bolehnya wanita muslimah menikah dengan pria non muslim berdasarkan pemahaman ayat di atas (surat Al Mumtahanah ayat 10), bahkan hal ini telah menjadi ijma’ (kesepakatan) para ulama.

Al Qurthubi rahimahullah mengatakan,

وأجمعت الامة على أن المشرك لا يطأ المؤمنة بوجه، لما في ذلك من الغضاضة على الاسلام.

“Para ulama kaum muslimin telah sepakat tidak bolehnya pria musyrik (non muslim) menikahi (menyetubuhi) wanita muslimah apa pun alasannya. Karena hal ini sama saja merendahkan martabat Islam.”

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,

هذه الآية هي التي حَرّمَت المسلمات على المشركين

“Ayat ini (surat Al Mumtahanah ayat 10) menunjukkan haramnya wanita muslimah menikah dengan laki-laki musyrik (non muslim)”.

Asy Syaukani rahimahullah dalam kitab tafsirnya mengatakan,

وفيه دليل على أن المؤمنة لا تحلّ لكافر ، وأن إسلام المرأة يوجب فرقتها من زوجها لا مجرّد هجرتها

“Ayat ini (surat Al Mumtahanah ayat 10) merupakan dalil bahwa wanita muslimah tidaklah halal bagi orang kafir (non muslim). Keislaman wanita tersebut mengharuskan ia untuk berpisah dari suaminya dan tidak hanya berpindah tempat (hijrah)”

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah mengatakan,

وكما أن المسلمة لا تحل للكافر، فكذلك الكافرة لا تحل للمسلم أن يمسكها ما دامت على كفرها، غير أهل الكتاب،

“Sebagaimana wanita muslimah tidak halal bagi laki-laki kafir, begitu pula wanita kafir tidak halal bagi laki-laki muslim untuk menahannya dalam kekafirannya, kecuali diizinkan wanita ahli kitab (dinikahkan dengan pria muslim).

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Orang kafir (non muslim) tidaklah halal menikahi wanita muslimah. Hal ini berdasarkan nash (dalil tegas) dan ijma’ (kesepakatan ulama). Allah Ta’alaberfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka. Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka (wanita mukmin) kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka (wanita mukmin) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” Wanita muslimah sama sekali tidak halal bagi orang kafir (non muslim) sebagaimana disebutkan sebelumnya, meskipun kafirnya adalah kafir tulen (bukan orang yang murtad dari Islam). Oleh karena itu, jika ada wanita muslimah menikah dengan pria non muslim, maka nikahnya batil (tidak sah).

Syaikh ‘Athiyah Muhammad Salim hafizhohullah dalam Kitab Adhwaul Bayan (yang di mana beliau menyempurnakan tulisan gurunya , Syaikh Asy Syinqithi), memberi alasan kenapa wanita muslimah tidak dibolehkan menikahi pria non muslim, namun dibolehkan jika pria muslim menikahi wanita ahli kitab. Di antara alasan yang beliau kemukakan: Islam itu tinggi dan tidak mungkin ditundukkan agama yang lain. Sedangkan keluarga tentu saja dipimpin oleh laki-laki. Sehingga suami pun bisa memberi pengaruh agama kepada si istri. Begitu pula anak-anak kelak harus mengikuti ayahnya dalam hal agama. Dengan alasan inilah wanita muslimah tidak boleh menikah dengan pria non muslim.

Pernikahan Pria Muslim dengan Wanita Ahli Kitab

Diperbolehkan pria muslim menikahi wanita ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) selama wanita tersebut adalah wanita yang selalu menjaga kehormatannya serta tidak merusak agama si suami dan anak-anaknya.

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ

Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu.” (QS. Al Maidah: 5)

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Wanita ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) boleh dinikahi oleh laki-laki muslim berdasarkan ayat ini.”

Yang dimaksud di sini, seorang pria muslim dibolehkan menikahi wanita ahli kitab, namun bukan wajib dan bukan sunnah, cuma dibolehkan saja. Dan sebaik-baik wanita yang dinikahi oleh pria muslim tetaplah seorang wanita muslimah. Wanita ahli kitab di sini yang dimaksud adalah wanita Yahudi dan Nashrani. Agama Yahudi dan Nashrani dari dahulu dan sekarang dimaksudkan untuk golongan yang sama dan sama sejak dahulu (di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), yaitu wahyu mereka telah menyimpang.

Catatan penting di sini, jika memang laki-laki muslim boleh menikah dengan wanita ahli kitab, maka pernikahan tentu saja bukan di gereja. Dan juga ketika memiliki anak, anak bukanlah diberi kebebasan memilih agama. Anak harus mengikuti agama ayahnya yaitu Islam. Lihat keterangan dari Syaikh ‘Athiyah Muhammad Salim di atas.

Sedangkan selain ahli kitab (seperti Hindu, Budha, Konghucu) yang disebut wanita musyrik, haram untuk dinikahi. Hal ini berdasarkan kesepakatan para fuqoha.

Dasarnya adalah firman Allah Ta’ala,

وَلاَ تَنكِحُواْ الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.(QS. Al Baqarah: 221)


Menurut para ulama, laki-laki muslim sama sekali tidak boleh menikahi wanita yang murtad meskipun ia masuk agama Nashrani atau Yahudi kecuali jika wanita tersebut mau masuk kembali pada Islam.

Comments

Popular posts from this blog

Macam-macam Majas

Ringkasan Materi Psikologi Perkembangan

Ilmu di Mata Imam Asy Syafi'i rahimahullah