Jama’ dan Qashar Shalat
Segala puji milik Allah yang telah menjadikan syari‘at Islam ini mudah dan tidak
memberatkan. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam, keluarga, para shahabat radhiyallahu ‘anhum, serta
pengikutnya yang telah menerangkan Islam dengan sangat gamblang dan mudah ke
seluruh penjuru alam.
Pembaca yang dirahmati Allah, salah satu bentuk
kemudahan agama ini adalah disyari‘atkannya
jamak dan qashar shalat pada kondisi tertentu. Maka pada goresan tinta ilmu kali ini, mari
kita sedikit menyelami permasalahan jamak dan qashar dalam shalat,
sehingga pundi-pundi ilmu bertambah dengan harapan hal tersebut menjadi amal shalih kita, aamien...
sehingga pundi-pundi ilmu bertambah dengan harapan hal tersebut menjadi amal shalih kita, aamien...
[A] - Apa Itu Menjamak Shalat?
Kata ‘jamak’ (الجَمْعُ) secara bahasa berarti ‘menggabung’, sedangkan
secara istilah maksudnya adalah ‘menggabungkan antara dua shalat, pada salah
satu waktu dari keduanya karena sebab yang dibolehkan syari‘at’.
Dari shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhum, beliau mengatakan:
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْمَعُ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ
وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ فِي السَّفَرِ
“Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggabung antara
shalat Dhuhur dengan Ashar, serta Maghrib dengan ‘Isya’ tatkala safar.” [HR. Ahmad, dishahihkan Syaikh Albani dalam Shahih Jami’, no. 4917]
Jamak shalat ada dua, yaitu:
(1) - Jamak Taqdim
Menggabung dua shalat di waktu shalat yang awal (misalnya,
menjama’ antara Dhuhur dan Ashar, dikerjakan pada waktu Dzuhur).
(2) - Jamak Ta’khir
Menggabung dua shalat di waktu shalat yang akhir
(misalnya, menjama’ antara Dhuhur dan Ashar, dikerjakan pada waktu Ashar).
[B] - Kapan Dilakukan Jama’ Taqdim dan Kapan Jama’ Ta’khir?
Jawabannya ada pada riwayat berikut:
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ إِذَا زَاغَتِ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ
يَرْتَحِلَ، جَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ، وَإِنْ يَرْتَحِلْ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ
الشَّمْسُ، أَخَّرَ الظُّهْرَ، حَتَّى يَنْزِلَ لِلْعَصْرِ، وَفِي الْمَغْرِبِ مِثْلُ
ذَلِكَ، إِنْ غَابَتِ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ، جَمَعَ بَيْنَ الْمَغْرِبِ
وَالْعِشَاءِ، وَإِنْ يَرْتَحِلْ قَبْلَ أَنْ تَغِيبَ الشَّمْسُ، أَخَّرَ الْمَغْرِبَ
حَتَّى يَنْزِلَ لِلْعِشَاءِ ثُمَّ جَمَعَ بَيْنَهُمَا
“Dari Muadz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada Perang Tabuk, ketika
matahari telah tergelincir sebelum beliau berangkat, maka beliau menjama’
antara Shalat Dhuhur dan Ashar (jama’ taqdim). Jika beliau shallallahu
‘alaihi wasallam berangkat sebelum matahari tergelincir, maka beliau shallallahu
‘alaihi wasallam mengundurkan pelaksanaan shalat Dhuhur, sehingga beliau shallallahu
‘alaihi wasallam singgah untuk Shalat Ashar (lalu mengerjakan keduanya
dengan jama’ ta’khir). Demikian pula ketika shalat Maghrib, apabila
matahari terbenam sebelum beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berangkat,
maka beliau menjamak antara Maghrib dan ‘Isya’ (dengan jama’ taqdim) dan
jika beliau berangkat sebelum matahari terbenam, maka beliau shallallahu
‘alaihi wasallam mengakhirkan Shalat Maghrib, hingga beliau singgah untuk Shalat
‘Isya’, kemudian beliau menjama’ keduanya (dengan jama’ ta’khir).” [Shahih
Abu Dawud, no. 1208]
Dari paparan di atas dapat ditarik kesimpulan:
(1) - Apabila safar (perjalanan) yang akan ditempuh sebelum masuk waktu Dhuhur,
jamaknya adalah jama’ ta’khir.
(2) - Sebaliknya bila safar yang akan di tempuh setelah masuk waktu Dhuhur,
jamaknya adalah jama’ taqdim.
[C] - Shalat Apa Saja
yang Boleh Dijamak?
Berdasarkan hadits riwayat Anas dan Mu‘adz bin Jabal di
atas dapat disimpulkan, bahwa shalat yang boleh dijama’ adalah:
(1) - Dhuhur dengan Ashar (baik jama’ taqdim, atau jama’ ta’khir);
(2) - Magrib dengan ‘Isya’ (baik jama’ taqdim, atau jama’ ta’khir).
[D] - Sebab-sebab yang
Membolehkan Seseorang Menjama’ Shalat
(1) - Ketika Sedang Safar (Bepergian)
Berdasarkan hadits Anas dan Mu‘adz di atas. Lantas
kapan seorang itu dikatakan sudah menempuh safar? Para ulama berbeda
pendapat mengenai jarak perjalanan yang masuk katagori safar. Al Imam Ash Shan‘ani
menyebutkan ada sekitar 20 pendapat dalam permasalahan ini, sebagaimana
dihikayatkan oleh Ibnu Al Mundzir. [Subulus Salam (3/109)]
Namun pendapat yang paling kuat, wallahu a‘lam,
dalam masalah ini adalah tidak adanya batasan jarak tertentu, batasan safar
dikembalikan kepada ‘urf (kebiasaan) masyarakat setempat. [Shahih
Fiqh Sunnah (1/481)]
(2) - Ketika Hujan Turun
Dari Nafi’ beliau berkata:
أَنَّ
عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ إِذَا جَمَعَ الْأُمَرَاءُ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ
فِي الْمَطَرِ جَمَعَ مَعَهُمْ
“Bahwa Abdullah bin Umar, jika para pemimpin
menjamak antara shalat Maghrib dan ‘Isya karena turun hujan, maka ia
juga menjamaknya.” [Irwaul Ghalil, no.
583]
Yang perlu diperhatikan adalah:
(a) - Jamak karena sebab
hujan, dilakukan bersama Imam di masjid dan bukan dilakukan di rumah. [Fatawa Al Lajnah Ad Da’imah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Iftaa’ (8/135)]
(b) - Apabila shalat
telah dijama’ pada waktu pertama dari dua shalat, lalu setelah dijama’, hujan
tersebut reda, maka shalatnya tetap sah dan tidak perlu diulangi. [Al Jami’
li Ahkami As Shalah (2/ 497-499)]
(2) - Karena Suatu Sebab Mendesak Lainnya
Seperti sakit yang parah, ketakutan mencekam dari musuh,
hendak operasi sehingga khawatir akan dibius
dalam waktu yang lama, dll. Hal ini berdasarkan riwayat Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu, beliau berkata:
جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ ، وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ ، بِالْمَدِينَةِ فِي
غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menjama’ shalat Dhuhur
dan ‘Ashar, juga Maghrib dan ‘Isya di Madinah, bukan karena rasa takut dan bukan
pula karena hujan.”
قِيلَ لِابْنِ عَبَّاسٍ : مَا أَرَادَ إِلَى ذَلِكَ ؟
Ada yang bertanya kepada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhu, “Apa yang diinginkan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
melakukan seperti itu?”
قَالَ : أَرَادَ أَنْ لَا يُحْرِجَ أُمَّتَهُ
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Beliau shallallahu
‘alaihi wasallam ingin agar tidak memberatkan umatnya.” [HR. Muslim, no. 705]
Imam Nawawi rahimahullah berkata:
وَذَهَبَ جَمَاعَةٌ مِنَ الْأَئِمَّةِ إَلَى جَوَازِ الْجَمْعِ فِيْ الْحَضَرِ
لِلْحاَجَةِ لِمَنْ لاَ يَتَّخِذُهُ عَادَةً
“Sekelompok ulama membolehkan jama’ bagi hadirin (orang mukim, yang tidak
bersafar) karena sebuah kebutuhan yang mendesak, namun bagi orang yang tidak
menjadikannya sebuah kebiasaan.” [Al Wajiz fie Fiqhi Sunnati wal Kitabil ‘Aziz, hal. 175-176]
[E] - Devinisi Qashar dalam
Shalat
Kata ‘qashar’ (الْقَصْرُ) secara bahasa bermakna ‘memendekkan’, sedangkan
secara istilah meng-qashar shalat bermakna: ‘memendekkan/meringkas shalat
ruba’iyah (empat raka’at) menjadi dua raka’at, ketika safar (bepergian)’.
Maka shalat yang bisa diqashar ada tiga, yaitu: Dhuhur,
Ashar dan ‘Isya’.
[F] - Kapan Dibolehkan
Meng-qashar Shalat?
Dibolehkan meng-qashar shalat ketika sedang safar
(bepergian). Hal ini berdasarkan:
(1) - Firman Allah dalam Surat An Nisaa’ ayat 101.
(( وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأرْضِ فَلَيْسَ
عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ
الَّذِينَ كَفَرُوا ))
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu
menqashar sembahyang (mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir.” [QS. An Nisaa’: 101]
(2) - Hadits Riwayat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu
Beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,
إِنِّي صَحِبْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فِي السَّفَرِ ، فَلَمْ يَزِدْ عَلَى رَكْعَتَيْنِ حَتَّى قَبَضَهُ اللَّهُ ،
“Saya pernah menyertai
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika safar. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidak shalat lebih dari 2
rakaat, hingga Allah mewafatkan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.”
وَصَحِبْتُ أَبَا بَكْرٍ فَلَمْ يَزِدْ عَلَى رَكْعَتَيْنِ حَتَّى
قَبَضَهُ اللَّهُ ،
“Saya pernah menyertai Abu Bakar ketika safar. Beliau radhiyallahu
‘anhu tidak shalat lebih dari 2 rakaat, hingga Allah mewafatkan beliau radhiyallahu
‘anhu.”
وَصَحِبْتُ عُمَرَ فَلَمْ يَزِدْ عَلَى رَكْعَتَيْنِ حَتَّى
قَبَضَهُ اللَّهُ ،
“Saya pernah menyertai Umar radhiyallahu ‘anhu ketika
safar. Beliau radhiyallahu ‘anhu tidak shalat lebih dari 2 rakaat,
hingga Allah mewafatkan beliau radhiyallahu ‘anhu.”
ثُمَّ صَحِبْتُ عُثْمَانَ فَلَمْ يَزِدْ عَلَى رَكْعَتَيْنِ
حَتَّى قَبَضَهُ اللَّهُ
“Saya pernah menyertai ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu ketika safar.
Beliau radhiyallahu ‘anhu tidak shalat lebih dari 2 rakaat, hingga Allah
mewafatkan beliau radhiyallahu ‘anhu.” [HR. Muslim, no. 1112]
[G] - Hukum Jamak Qashar
Dibolehkan bagi musafir untuk menjama’ shalatnya
sekaligus meng-qashar shalatnya, bila syarat men-jama’ dan meng-qashar
terpenuhi, yaitu sedang safar (bepergian). Adapun rinciannya:
(1)
- Men-jama’ dan meng-qashar shalat Dhuhur
dengan Ashar.
Shalat
Dhuhur dulu 2 raka’at, setelah selesai salam dilanjutkan
shalat Ashar 2 raka’at.
(2)
- Menjamak dan meng-qhasar shalat Maghrib
dan ‘Isya’.
Shalat Magrib dulu
tetap 3 raka’at
(karena magrib bukan shalat ruba’i,
maka tidak bisa di-qashar), setelah salam
dilanjutkan shalat ‘Isya’ 2 raka’at.
[H] - Bila Musafir
Imamnya Tidak Meng-qashar
Apabila seorang musafir bermakmum kepada seorang Imam
yang tidak meng-qashar shalatnya, maka ia tidak boleh meng-qashar
shalatnya, ia harus tetap menyempurnakan shalatnya empat raka’at mengikuti Imam.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَإِذَا صلى قَائِمًا
فَصَلُّوا قِيَامًا فإذا رَكَعَ فَارْكَعُوا وإذا رَفَعَ فَارْفَعُوا وإذا قال سمع
الله لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ وإذا صلى قَائِمًا فَصَلُّوا
قِيَامًا وإذا صلى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا أَجْمَعُونَ
“Sesungguhnya seorang Imam itu dijadikan untuk diikuti. Jika Imam shalat berdiri,
maka shalatlah kalian (wahai para makmum -pent) berdiri juga! Jika Imam ruku’, maka
ruku’lah kalian dan jika Imam bangkit maka bangkitlah! Jika Imam berkata: ‘Sami’allahu
liman hamidahu’, maka ucapkanlah: ‘Rabbanaa wa lakal-hamdu’. Jika Imam shalat
berdiri, maka shalatlah berdiri dan jika Imam shalat duduk, maka shalatlah kalian
seluruhnya dengan duduk!” [HR. Al Bukhari, no.657]
[I] - Bila Imam Meng-qashar,
Sedangkan Makmum Mukim (Bukan Musafir)
Apabila kita shalat dibelakang seorang imam musafir yang meng-qashar shalatnya, maka kita selaku orang yang mukim
harus tetap menyempurnakan shalat empat raka’at. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada
penduduk Mekah, ketika beliau shallallahu
‘alaihi wasallam mengimami mereka tatkala bersafar ke Mekah:
يَا
أَهْلَ مَكَّةَ أَتِمُّوا صَلَاتَكُمْ فَإِنَّا قَوْمٌ سَفْرٌ
“Wahai penduduk Makkah, sempurnakan shalat
kalian, sesungguhnya kami adalah kaum yang sedang safar (maka, kami meng-qashar
shalat kami -pent)!” [HR. Malik, no.504]
Demikian pembahasan singkat berkaitan dengan jama’
dan qashar shalat, semoga bermanfaat bagi kita semua, aamien...
| Wallahu a‘lam bish shawwab..
| Oleh: Ibnu Ram - 291014
| Artikel: Buletin Al-Minhaj
| Gambar: Indonesia360Derajat
Comments
Post a Comment