Kisah Pagi.. (Part. II)

Kampungku Tak Seindah Dulu...

Menyusuri jalan pinggiran sungai yang bukan lagi sekedar rusak, membuat anakku diam seribu bahasa. Biasanya dia girang bukan kepalang, suara lucunya tak henti-henti menirukan motor yang sedang ngebut, ketika aku ajak sekedar naik motor bututku ini. Membuatku sedikit mengeluh kepada ibuku, “Jalannya kog seperti ini tho, Bu?” Beliau menjawab, “Iya, memang tak terawat dan jalan sebelah sana sebentar lagi akan diaspal,” tukas beliau sambil menyebut salah satu partai besar di negeri ini. Aku tak kan mengatakan, kalau partai itu PDI Perjuangan, tidak, tidak, karena aku tak sedang berkampanye. Jangan kan berkampanye, politik pun aku tak suka.

Rumahku telah pun terlihat, melewati depan masjid baru di kampungku membuat rekaman kusamku kembali berputar. Dulu, dulu sekali, masjid di kampung ini hanya satu, Masjid Al Amin. Bahkan, inilah masjid pertama dan satu-satunya yang ada di desaku. Tapi sekitar tahun 1994 di ujung timur kampungku dibangun lagi sebuah masjid. Sehingga, kami warga kampung ini lebih dekat untuk sekedar shalat berjamaah. Dan, sekitar lima tahun yang lalu, warga kami mendapat hadiah sebuah masjid dari sebuah yayasan dari Jakarta, di sini, di dekat rumahku.

Banyak kenangan yang tak akan pernah terlupakan terkait masjidku yang nomer dua. Masjid Istiqamah namanya. Masjid yang selalu ramai menurutku. Bahkan, TPA (Taman Pendidikan Al Qur-an) kami dulu merajai sampai tingkat kecamatan. Tidakkah kau ingat kawan, ketika kita dulu sering ikut lomba baca Al Qur-an, lomba puisi, lomba berdoa dan lomba-lomba lainnya yang sering diadakan Badko TPA kecamatan ini? Pergilah ke masjid ini, nisacaya engkau masih akan mendapati sisa-sisa kemegahannya.

Tapi kini, sepi. Sepi dan benar-benar sepi. Hanya sederet, atau dua deret shaff ketika shalat berjamaah, itu pun tak penuh. Di tiga masjid tersebut di atas, tak ada minat anak-anak pergi ke masjid untuk ikut pengajian TPA, kecuali sedikit, sedikit sekali. Sakit rasanya melihat semua itu, terlebih ketika terkenang kisah indah di masa lalu.

Memang berat untuk mengatakan, “Kampung ini seperti kampung mati...” Dikatakan bersih, tapi tak bersih. Dirasa elok, sayang tak elok. Dibilang indah, jauhlah... Bagaimana tidak, pepohonan dibiarkan tinggi emnjulang berantakan tak beraturan. Selokan yang terkesan mampet di sana sini. Rumah-rumah kosong, rumah-rumah tua yang sekedar dibangun, kemudian ditinggalkan begitu saja. Kemanakah perginya kampung indahku dulu??

Mohon ijin untuk sekedar berbagi, ter-khas untuk guru TPA ku dulu Mas Toni Munawar, juga tema-teman seangkatan Kang Syamsul Ardy, Mbak Citi Kalem, Bu Dhe Stya Ningrum, tak lupa adik-adikku yang pernah belajar bersamaku Del Pairo TeguhCicik RistiyantiCamalina SugiyartiAndrey Arsenal Sheilagenk. Sebuah kalimat untuk kalian semua, “Kapan kalian pulang, meluangkan waktu melihat semua ini dan membangun kembali sebuah kejayaan usang?”

Comments

Popular posts from this blog

Macam-macam Majas

Ringkasan Materi Psikologi Perkembangan

Ilmu di Mata Imam Asy Syafi'i rahimahullah