Kakek Renta





Menjadi pekerjaan saya, ketika harus bolak balik antara toko kertas dan percetakan, itu wajar. Mengingat, saya adalah seorang kuli kertas. Demikian pula ketika kemarin pagi saya bersama seorang teman menyempatkan diri menuju toko dan percetakan langganan kami sekedar membeli barang yang biasa kami beli, sekedar menanyakan kapan hasil cetakan bisa diambil. Sedikit kecewa saat Mas Juru  Cetak berkata, “Belum jadi Mas, mungkin Rabu baru bisa diambil...”
“Ya sudah, tak apa, Rabu saya ke sini lagi, insya Allah,” janjiku.

Tak langsung pulang ke kandang, karena kami harus mampir ke sana dan kemari. Ke warung buah langganan, Bakul Buah mBokdhe Jiyem, sekedar membeli dan merasakan jeruk seperti biasanya. Kursi penjual sengaja ku pilih sebagai alas duduk, sambil merasai jeruk yang diberikan mBokdhe Jiyem kepadaku. “Sirsaknya berapaan, Mas,” tanya seorang ibu kepadaku. Wee lha dalah, sepertinya aku pantas juga beralih peran menjadi pedagang buah. “Tak tahu, Bu, coba tanya pada Ibu itu,” kataku.

Selanjutnya, masih mampir ke tempat ini, ke Bank itu, terakhir tak lupa membeli es teh di tempat biasa pula, tentunya.

Di Warung HIK inilah kisah ini mengusik untuk ikut diceritakan. “Es teh-ipun kalih, Pak, dipun bungkus mawon,” kataku jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Nasional kira-kira menjadi, “Es tehnya dua, Pak, dibungkus saja.” Tetapi, agak lama respon yang beliau berikan, tak biasanya. Ternyata beliau Pemilik Warung HIK ini sedang melayani seorang kakek. Si Kakek yang telah renta ini sekedar mampir untuk membeli ubi goreng kesukaannya, seperti yang aku dengar dari obrolan mereka.

“Mbok ya istirahat di rumah saja tho, Pak, Njenengan (Anda) sudah sepuh (tua). Kasihan, jalan saja sudah sempoyongan,” kata Pemilik Warung sambil memberikan beberapa potong ubi goreng kepada Kakek itu.

“Ini tadi cucuku minta dibelikan manggis,” ujar Si Kakek sambil bersusah mengambil sepeda tua reotnya. Beruntung ada Abang Becak membantu sekaligus menyeberangkan Kakek itu.

Mataku, tak ku biarkan segera beralih dari pemandangan nan mengharukan ini, tak rela berpaling walau Kakek itu telah pun jauh mendorong sepedanya sekedar sebagai sandaran dan tumpuan untuk memudahkan jalannya. Iya, Kakek itu membawa sepeda sekedar difungikan sebagai tongkat pembantu berdiri. Kagum, bangga, kasihan dan sebuah kalimat, “Kog tega yaa...?” tak sengaja keluar tanpa permisi dari lubuk hati. Iya, datang tanya penuh noda yang sangat tak sabar untuk segera diucapkan, “Kemana gerangan Bapak dari cucu Kakek tersebut, sehingga tega membiarkan beliau yang telah renta pergi jauh dari rumahnya sekedar membeli beberapa buah manggis untuk buah hati tercinta?”

Mungkin, pemandangan serupa sering terjadi, sering kita jumpai dan wajar menurut sebagian orang. Tapi tidak bagiku. Pemandangan yang selalu mengusik untuk sekedar dinikmati. Pemandangan yang secara tak sengaja memberi sebuah pelajaran berharga akan pengorbanan mulia seorang kakek yang telah renta kepada cucunya. Dan, tahukah engkau, Kawan? Tak jarang, seorang kakek, atau juga nenek, lebih sayang kepada cucu mereka daripada orangtua si cucu tersebut. Demikian, bukan?

Semoga Allah menyayangimu, Kakek baik hati, sebagaimana engkau menyayangi cucumu dan seluruh putera puterimu...

Comments

Popular posts from this blog

Macam-macam Majas

Ringkasan Materi Psikologi Perkembangan

Ilmu di Mata Imam Asy Syafi'i rahimahullah