Anak-anak Istimewa yang Terlupa..
Bergumul diantara para pekerja berseragam dalam sebuah bus kota menjadi pemandangan indah penuh makna. Bau peluh, berdesak penuh riuh dan teriak-teriak ricuh pun menjadi bumbu penyedapnya. Tertidur, heboh, berebut tempat duduk... menjadi cerita lain di dalamnya. “Padasuka...,” teriak kondektur memanggil.
“Kiri..,” sahutan dari seorang penumpang yang berusaha sekuat tenaga mendekat ke pintu melalui lorong tangan-tangan kokoh diantara bilik-bilik sempit para pekerja berseragam. Dia pun berhasil turun dengan wajah sumringah pertanda bangga mampu melewati rintangan tanpa suatu apa. “Alhamdulillah...,” bisiknya lirih.
Menyeberang, berjalan menyusuri jalan komplek yang menurun dan meninggi, ditatapnya pula pemandangan Gunung Bohong yang kelihatan kokoh dari kejauhan, melewati blok demi blok, akhirnya sampai pula ia di rumah yang telah menjadi atap tidur dan selimut hangatnya selama bertahun-tahun di tengah keluarga yang senantiasa menjaganya. Menyapu dan bersih-bersih adalah pekerjaan sambilan rutin yang telah pula menanti. Selanjutnya, ia harus segera mandi, kemudian berangkat ke masjid, karena memang adzan maghrib telah pun berkumandang.
Sebenarnya ada dua masjid di komplek itu, satu masjid jami’ di tengah komplek berlantau kayu jati berdiri megah tak kalah dengan rumah-rumah yang ikut berdiri di sekitarnya. Dan satu masjid mungil di pinggiran komplek ini yang mungkin sedikit terabai. Dipilihnya masjid jami’ yang besar itu ketika ia rutin mengerjakan shalat berjamaah setiap harinya, termasuk shalat maghrib hari itu. Selesai, tapi ia tak langsung pulang. Diteruskannya langkah tak lelah itu menuju masjid yang satunya, masjid kecil di depan komplek di seberang bawah pos satpam. Ternyata, anak-anak dan beberapa teman telah menunggunya di sana. Iya, ada anak-anak yang setiap hari berkumpul di masjid mungil ini sekedar hendak belajar mengaji. Dan, inilah yang menjadi pelepas lelah, penawar gundah dan pemandangan indah baginya, sampai bertahun-tahun lamanya...
Menjadi sesuatu yang umum terjadi, ketika ada kumpulan orang, pasti berbeda pula latar belakang setiap dari mereka. Ini pun terjadi dan menghiasi perkumpulan anak yang hendak mengaji tersebut. Ada diantara mereka yang sedikit kaya, pas-pasan, ada yang sedikit kurang, kurang sekali, bahkan ada diantara mereka beberapa yang berprofesi lain, yaitu sebagai pemulung (maaf). Dan ia bersama teman-teman mengajarnya tak pernah mempermasalahkan hal itu, karena baginya, mereka mau berangkat mengaji adalah sebuah anugerah yang harus senantiasa disyukuri..
Lalu, dimanakah anak-anak istimewa yang hendak kau kisahkan ini, Kawan?
Sebentar, Kawan, bersabarlah! Orang sabar itu istrinya cantik...
Kau baca tadi di atas disebutkan, bahwa diantara mereka ada yang bersal dari keluarga pemulung, bukan? Itu dia, itu dia lakon dari cerita ini. Mereka sangat hebat, bahkan mereka sangat istimewa. Di pagi hari mereka bersekolah, seperti anak-anak lain bersekolah pula. Hanya, mereka bersekolah di SD Negeri, atau SD Pemerintah dan bukan SD ternama, atau SD yang berteman IT itu.. Tapi, hal itu tak membuat mereka panik, tak ada wajah gelisah, tak ada muka berdosa, ketika melihat mereka. Iya, mereka tak lantas merasa terhina, tak cepat merasa putus asa, mereka tetap berangkat mengaji setiap hari. Seperti tak ada lelah, seperti tak ada beban berat di pundak mereka. Padahal, selesai bersekolah, mereka membantu orang tua, beralih peran menjadi pemulung, yang dipaksa dewasa sebelum waktunya, ikut menanggung beban keluarga dengan terpaksa. Keadaan dan keluargalah yang membuat mereka terlihat dewasa dari umurnya dalam hal ini.
Mungkin, sebagian dari kita lantas menjadikan waktu petang sebagai waktu yang pas untuk beristirahat melepas lelah, bersantai bersama keluarga, setelah seharian tak berjumpa. Tapi tidak bagi mereka, setelah bersekolah, menjadi pemulung sampai senja hari, berlanjut mengaji. Dan itu murni keinginan mereka, tanpa paksaan. Laa hawlaa walaa quwwata illaa billaah..
Ini hebat, ini istimewa menurut saya..
Di hari lain, ia tak berangkat ke masjid mungil di depan komplek itu, karena memang telah ada yang menunggunya di belahan bumi yang lain. Di dekat Stasiun Padalarang, di atas Pabrik Kertas Padalarang... ah, aku lupa nama desanya, pemandangan serupa, walau tak sama. Ia pun mengajar beberapa anak kampung itu sepekan dua hari, Hari Rabu dan Hari Ahad Sore, jam 16:00 s.d. maghrib. Uniknya, sebagian mereka adalah pemulung juga, lebih hebat, bahkan. Boleh aku bilang 90%? Iya, 90% dari anak-anak yang ingin belajar mengaji itu adalah pemulung dan anak pemulung, dari keluarga pemulung pula. Sama, mereka bersekolah, mencari rizki dari pekerjaannya itu dan mengaji di sore harinya setiap hari dengan pengajar yang berbeda-beda.. Allahu Akbar..
Ada yang lebih hebat dari mereka di sini?
Maaf, aku belum sempat melanjutkan cerita, tak kuat aku melanjutkannya, maafkan aku.. Semoga lain waktu ada kekuatan itu, insya Allah..
------
Ada titipan salam darinya untuk rekan-rekan semua: Hafidz Abdullah, Dedy Wicaksono,Nendi Sundawi Abinya Ghizan, Yani Maryani, Enung Nurhasanah ... “Selalu ada rindu darinya yang terus tersimpan indah..”
Untuk semua yang pernah pula belajar: Tri Rismayanti Yunita, Ranggihh Ittu Punna Aqughh.. “Sedang apa kalian sekarang?”
Comments
Post a Comment