Tokoh-tokoh Filsafat Islam

1.        Al Kindy

Nama asli: Abu Yusuf Ya’qub ibn Ishaq Ash Shabbah Al Kindy
Lahir di Kufah sekitar 185 H (801 M) dari keluarga kaya dan terhormat.
Dikenal dan berjasa dalam gerakan penterjemahan dan seorang pelopor yang memperkenalkan tulisan-tulisan Yunani, Suriah dan India pada dunia Islam.
Merupakan filosof kenamaan pertama. Beliau bukan hanya seorang filosof, tetapi juga seorang ilmuwan.

Diantara pendapatnya:
1)      Bahwa, antara agama dan filsafat tidak ada pertentangan;
2)      Ilmu tauhid adalah cabang termulia dari filsafat;
3)      Filsafat membahas kebenaran/hakekat;
4)      Hakekat pertama itu adalah Tuhan
5)      Al Kindi mengulas teori keadilan Tuhan dan berpendapat, bahwa semua perbuatan Allah itu tidak mengandung unsur zalim.
6)      Al Kindi juga membicarakan soal jiwa dan akal.
Jiwa manusia mempunyai 3 daya:
a)      Daya bernafsu yang terpusat di perut,
b)      Daya berani yang berpusat di dada,
c)       Daya berpikir yang berpusat di kepala.
Daya berpikir inilah yang disebut  akal.
Dalam pemikiran filosofisnya, Al-Kindi banyak dipengaruhi oleh Aristoteles, Plato dan Neo-Platonisme.

Keahlian lain yang dimiliki:
Merupakan seorang ahli metafisika, etika, logika dan psikologi, ilmu pengobatan, farmakologi, matematika,  astrologi dan optik, serta seorang ahli bilangan (aritmatika), harmoni, geometri dan astronomi.
Selain itu, dia juga seorang yang ahli dalam parfum, pedang, zoologi, kaca, meteorologi dan gempa bumi.

2.        Ibn Sina

Nama asli: Abu ‘Ali Al Husayn bin Abdullah Ibn Sina (Avicenna)
Lahirkan di desa Afsyanah, dekat Bukhara, Transoxiana (Persia utara) pada 370 H (8-980M).

Karyanya yang terkenal:
1)      Al Qanun fie Al Tibb (Canon of Medicine)
Suatu ensiklopedia tentang ilmu kedokteran.
2)      Al Syifa
Merupakan ensiklopedia tentang filsafat Aristoteles dan ilmu pengetahuan.
3)      An Najat;
merupakan ringkasan buku yang paling populer, yakni As-Syifa
4)      Al Syarat wat-Tanbihat
adalah buku terakhir dan yang paling baik,
5)      Al Hikmat Al Masyriqiyyah
berisi filsafat Timur sebagai imbangan dari filsafat Barat.

Diantara Pendapatnya:
1)      Ibnu Sina sependapat dengan Al Farabi mengenai filsafat jiwanya;
2)      Ibnu Sina dapat berpendapat, bahwa akal pertama mempunyai dua sifat, yaitu: Sifat wajib wujudnya, sebagai pancaran dari Allah dan sifat mungkin wujudnya, jika ditinjau dari hakikat dirinya;
3)      Sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiwa, yaitu tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya;
4)      Jika jiwa tumbuhan, atau hewan mempengaruhi seseorang, maka orang itu dapat menyerupai binatang, tetapi jika jiwa manuisa yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaikat dan dekat dengan kesempurnaan;
5)      Menurut Ibnu Sina, bahwa alam ini diciptakan dengan jalan emanasi (memancar dari Tuhan). Tuhan adalah wujud pertama yang immateri dan proses emanasi tersebut memancar segala yang ada;
6)      Tuhan adalah wajibul wujud (jika tidak ada menimbulkan mustahil), beda dengan mumkinul wujud (jika tidak ada atau ada menimbulkan tidak mujstahil);
7)      Pemikiran tentang kenabian menjelaskan, bahwa nabi merupakan manusia yang paling unggul dari filosof, karena nabi memiliki akal aktual yang sempurna tanpa latihan, sedangkan filosof mendapatkannya dengan usaha yang keras.

Keahlian lain yang dimiliki:
Merupakan seorang filsuf, ilmuwan, dokter dan penulis aktif.

3.        Ibn Rusyd

Nama asli: Abu Walid Muhammad Ibn Rusyd
Lahir di Kordoba (Spanyol) pada tahun 520 Hijriah (1128 Masehi). Ayah dan kakek Ibnu Rusyd adalah hakim-hakim terkenal pada masanya.

Diantara Karyanya:
1)      Bidayat Al-Mujtahid (kitab ilmu fiqih);
2)      Kulliyaat fi At-Tib (buku kedokteran);
3)      Fasl Al-Maqal fi Ma Bain Al-Hikmat Wa Asy-Syari’at (perihal perkataan-perkataan dalam hal kebijaksaan dan syariat);
4)      Tahafut at-Tahafut (Kitab ini berupaya menjabarkan dengan menyanggah butir demi butir keberatan terhadap Al Ghazali);
5)      Al-Kasyf’an Manahij al-Adillat fi ’Aqa’id al-Millat (berisikan kritik terhadap metode para ahli ilmu kalam dan sufi).

Pemikirannya:
1)      Pemikiran Epistemologi Ibn Rusyd
Dalam kitabnya Fash al Maqal ini, Ibn Rusyd berpandangan, bahwa mempelajari filsafat bisa dihukumi wajib. Dengan dasar argumentasi bahwa filsafat tak ubahnya mempelajari hal-hal yang wujud yang lantas orang berusaha menarik pelajaran / hikmah / ’ibrah darinya, sebagai sarana pembuktian akan adanya Tuhan Sang Maha Pencipta.
2)      Pandangan Metafisika
Dalam masalah ketuhanan, Ibn Rusyd berpendapat bahwa Allah adalah Penggerak Pertama (muharrik al-awwal).
Sifat posistif yang dapat diberikan kepada Allah ialah ”Akal”, dan ”Maqqul”. Wujud  Allah ia;ah Esa-Nya. Wujud dan ke-Esa-an tidak berbeda dari zat-Nya.
3)      Tanggapan Terhadap Al-Ghazali
Ibnu Rusyd di kenal oleh banyak orang sebagai filosof yang menentang al-Ghazali. Hal ini terlihat dalam bukunya berjudul Tahafutut-tahafut, yang merupakan reaksi buku al-Ghazali berjudul Tahafutut Falasifah. 
Dalam bukunya, Ibnu Rusyd membela pendapat-pendapat ahli filsafat Yunani dan umat Islam yang telah diserang habis-habisan oleh al-Ghazali. Sebagai pembela Aristoteles (filsafat Yunani), tentunya Ibnu Rusyd menolak prinsip Ijraul-Adat dari al-Ghazali
 Begitu pula al-Farabi, dia juga mengemukakan prinsip hukum kausal dari Aristoteles. Perdebatan panjang antara Al-Ghazali dan Ibn Rusyd, kiranya tidak akan pernah usai. Karena keduanya memiliki pengikut setia dalam mempertahankan pendapat-pendapat dari kedua pemikir Islam tersebut.


Keahlian Lain:
Bidang filsafat, kedokteran dan fikih

4.       Al Farobi

Nama Asli: Abu Nashir Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Uzlagh Al Faraby
Lahir di Al Farob pafa tahun 872 M. Beliau anak seorang panglima perang Dinasti Tsamani dan merupakan seorang keturunan Turki

Diantara Karya Al Farabi:
1)      Al-Jami’u Baina Ra’yani Al-Hkiman Afalatoni Al Hahiy wa Aristho-thails (pertemuan/penggabungan pendapat antara Plato dan Aristoteles);
2)      Tahsilu as Sa’adah (mencari kebahagiaan);
3)      As Suyasatu Al Madinah (politik pemerintahan);
4)      Fususu Al Taram (hakikat kebenaran);
5)      Arro’u Ahli Al Madinati Al Fadilah (pemikiran-pemikiran utama pemerintahan);
6)      As Syiasyah (ilmu politik);
7)      Fi Ma’ani Al Aqli;
8)      Ihsho’u Al Ulum (kumpulan berbagai ilmu);
9)      At Tangibu ala As Sa’adah;
10)   Isbatu Al Mufaraqat;
11)   Al Ta’liqat. 

Pemikirannya:
1)      Filsafat Emanasi
Apabila terdapat satu zat yang kedua sesudah zat yang pertama, maka zat yang kedua ini adalah sinar yang keluar dari yang pertama. Sedang Ia (Yang Esa) adalah diam, sebagaimana keluarnya sinar yang berkilauan dari matahari, sedang matahari ini diam. Selama yang pertama ini ada, maka semua makhluk terjadi dari zat-Nya, timbullah suatu hakikat yang bertolak keluar. Hakikat ini sama seperti form (surat) sesuatu, di mana sesuatu itu, keluar darinya.
Filsafat al-Farabi ini mencoba menjelaskan, bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Satu. Tuhan bersifat Maha-Satu, tidak berobah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak, Maha Sempurna dan tidak berhajat pada apapun. Kalau demikian hakekat Tuhan, bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari Yang Maha Satu? Menurut al-Farabi alam ini terjadi dengan cara emanasi.
2)      Filsafat Metafisika
Yakni membahas tentang masalah ke-Tuhanan.
Al-Farabi membagi ilmu Ketuhanan menjadi 3 (tiga) yaitu:
a)      Membahas semua wujud dan hal-hal yang terjadi padanya sebagai wujud;
b)      Membahas prinsip-prinsip burhan dalam ilmu-ilmu teori juz’iyat (paticulars), yaitu ilmu yang berdiri sendiri karena penelitiannya tentang Wujud tertentu;
c)       Membahas semua Wujud yang tidak berupa benda-benda, ataupun berada dalam benda-benda itu, kemudian terlebih dahulu dibahas apakah Wujud serupa itu ada atau tidak, kemudian dibuktikan dengan burhan bahwa Wujud serupa itu ada.
Al-Farabi ketika menjelaskan Metafisika (ke-Tuhanan), menggunakan pemikiran Aristoteles dan Neoplatonisme.
Ia berpendapat, bahwa al-Maujud al-Awwal sebagai sebab pertama bagi segala yang ada.
Dalam pemikiran adanya Tuhan, al-Farabi mengemukakan dalil Wajib al-Wujud dan Mumkin al-Wujud.
Menurutnya, segala yang ada ini hanya memiliki dua kemungkinan dan tidak ada alternatif yang ketiga.
Wajib al-Wujud adalah wujudnya tidak boleh tidak ada, ada dengan sendirinya, esensi dan wujudnya adalah sama dan satu. Ia adalah Wujud yang sempurna selamanya dan tidak didahului oleh tiada. Jika Wujud  itu tidak ada, akan timbul kemustahilan karena Wujud lain untuk adanya bergantung kepadanya. Inilah yang disebut dengan Tuhan.
Adapun mumkin al-Wujud tidak akan berubah menjadi Wujud Aktual tanpa adanya Wujud yang menguatkan, dan yang menguatkan itu bukan dirinya, tetapi Wajib al-Wujud. Walaupun demikian, mustahil terjadi daur dan tasalsul (processus in infinitum) karena rentetan sebab akibat itu akan berakhir pada Wajib al-Wujud.
3)      Filsafat ke-Nabian
Erat hubungannya pada agama. Agama yang dimaksud adalah agama Samawi (langit). Dalam agama Islam Nabi adalah manusia seperti manusia lainnya. Akan tetapi, Nabi diberi kelebihan oleh Allah akan kemuliaan berupa mukjizat yang tidak dimiliki oleh manusia lainnya. Maka dalam agama Islam, seorang Nabi adalah utusan Allah yang mengemban tugas keagamaan. Nabi adalah utusan Allah yang diberikan Al-Kitab yang dipandang sebagai Wahyu Ilahi. Oleh sebab itu, apa yang diucapkan oleh Nabi yang berasal dari Allah adalah wahyu, dengan ucapan yang tidak keluar dari nafsunya sendiri. 

Keahlian Lain:
Seorang ahli filsafat, logika, matematika, etika, ilmu politik dan musik

5.       Al Ghazali

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i (lahir di Thus; 1058 / 450 H – meninggal di Thus; 1111 / 14 Jumadil Akhir 505 H; umur 52–53 tahun) adalah seorang filosof dan teolog muslim Persia, yang dikenal sebagai Algazel di dunia Barat abad Pertengahan

Karyanya:
1)      Ihya Ulumuddin (Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama), merupakan karyanya yang terkenal;
2)      Kimiya as-Sa'adah (Kimia Kebahagiaan);
3)      Misykah al-Anwar (The Niche of Lights)
4)      Maqasid al-Falasifah;
5)      Tahafut al-Falasifah (buku ini membahas kelemahan-kelemahan para filosof masa itu, yang kemudian ditanggapi oleh Ibnu Rushdi dalam bukuTahafut al-Tahafut (The Incoherence of the Incoherence).

Pemikirannya:
1)      Metafisika
Filsafat yang pertama dia pelajari adalah karangan ahli filsafat terutama karangan Ibnu Sina, setelah mempelajari filsafat dengan seksama, ia mengambil kesimpulan, bahwa mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan.
Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal menjelaskan, bahwa jika berbicara mengenai ketuhanan (metafisika), maka disinilah terdapat sebagian besar kesalahan mereka (para filosof) karena tidak dapat mengemukakan bukti-bukti menurut syarat-syarat yang telah mereka tetapkan sendiri dalam ilmu logika.
Al-Ghazali meneliti kerja para filsuf dengan metodenya yang rasional, yang mengandalkan akal untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan. Dia pun menekuni bidang filsafat secara otodidak sampai menghasilkan beberapa karya yang mengangkatnya sebagai filsuf. Tetapi hasil kajian ini mengantarkannya kepada kesimpulan, bahwa metode rasional para filsuf tidak bisa dipercaya untuk memberikan suatu pengetahuan yang meyakinkan tentang hakikat sesuatu di bidang metafisika (ilahiyyat) dan sebagian dari bidang fisika (thabi’iyat) yang berkenaan dengan akidah Islam. Meskipun demikian, Al-Ghazali tetap memberikan kepercayaan terhadap kesahihan filsafat-filsafat di bidang lain, seperti logika dan matematika.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa ada pemikiran tentang filsafat metafisika yang menurut al-Ghazali sangat berlawanan dengan Islam, dan karenanya para filosof dinyatakan kafir.
2)      Iradat Tuhan
Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat, bahwa dunia itu berasal dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak merupakan undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom) yang masih abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak dengan undang-undang itulah yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita lihat ini.
Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas dalam pengertian ruang dan waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan adalah transenden, tetapi kemauan iradatnya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.
Pengikut Aristoteles, menamakan suatu peristiwa sebagai hukum pasti sebab dan akibat (hukum kausalitas), sedangkan Al-Ghazali seperti juga Al-Asy’ari berpendapat bahwa suatu peristiwa itu adalah iradat Tuhan, dan Tuhan tetap bekuasa mutlak untuk menyimpangkan dari kebiasaan-kebiasaan sebab dan akibat tersebut. Sebagai contoh, kertas tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kain. Semua ini hanya merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah semata. Begitu juga dengan kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar dengan api. Mereka menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali dengan menghilangkan sifat membakar dari api ituatau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim menjadi suatu materi yang tidak bisa terbakar oleh api.
3)      Etika
Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam buku Ihya’ ‘Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika Al-Ghazali adalah teori tasawufnya itu. Mengenai tujuan pokok dari etika Al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal “Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al-Basyariyah, atau Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman ‘Ala Thaqah al-Basyariyah”. Maksudnya adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.
Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Berbeda dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap bahwa Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.
Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan.
Bagi Al-Ghazali, taswuf bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri terpisah dari syari’at, hal ini nampak dalam isi ajaran yang termuat dalam kitab Ihya’nya yang merupakan perpaduan harmonis antara fiqh, tasawuf dan ilmu kalam yang berarti kewajiban agama haruslah dilaksanakan guna mencapai tingkat kesempurnaan. Dalam melaksanakan haruslah dengan penuh rasa yakin dan pengertian tentang makna-makna yang terkandung di dalamnya.
4)      Pandangan Al-Ghazali terhadap Filsafat
Mengenai pandangan al Ghazali, para ilmuwan berpendapat bahwa ia bukan seorang filosof, karena ia menentang dan memerangi filsafat dan membuangnya. Tentangan yang di lontarkan al-Ghazali ini tercermin dari bukunya yang berjudul Tahafut al-Falasifah, yakni sebagai berikut:
“...sumber kekufuran manusia pada saat itu adalah terpukau dengan nama-nama filsuf besar seperti Socrates, Epicurus, Plato, Aristoteles dan lain-lainnya ..., mereka mendengar perilaku pengikut filsuf dan kesesatannya dalam menjelaskan intelektualitas dan kebaikan prinsip-prinsipnya, ketelitian ilmu para filsuf di bidang geometri, logika, ilmu alam, dan telogi ..., mereka mendengar bahwa para filsuf itu mengingkari semua syari’at dan agama, tidak percaya pada dimensi-dimensi ajaran agama. Para filsuf menyakini bahwa agama adalah ajaran-ajaran yang disusun rapi dan tipu daya yang dihiasi keindahan ...”
Jikalau melihat ungkapan di atas, terlihat, bahwa al-Ghazali lebih tepat digolongkan dalam kelompok pembangunan agama yang jalan pemikirannya didasarkan pada sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Apabila memakai sumber lain dari Islam maka sumber-sumber ini hanya dijadikan sebagai alat untuk maksud menghidupkan ajaran-ajaran agama dan untuk membantu menerangi jalan menuju Allah. Hal ini dikuatkan dengan kitabnya Ihya’Ulum Ad-din. Dalam buku Tahafut al-Falasifah al-Ghazali juga diterangkan tentang keremehan pemikiran-pemikiran filsafat. Sehingga apakah mungkin filsafat justru menghukumi atas dirinya sendiri? Al-Ghazali dengan beberapa kali menyatakan, bahwa tujuan penyusunan buku tersebut untuk menghancurkan filsafat dan menggoyahkan kepercayaan orang terhadap filsafat. Dari sinilah, apakah tepat orang yang menetapkan kegagalan filsafat disebut sebagai seorang filosof
5)      Kritik Al Ghazali
Al-Ghazali mengktitik para filosof tentang tiga persoalan tentang kekeliruan para filosof. Yaitu:
a)      Bahwa, materi dapat merusak sedangkan jiwa tidak, karena materi adalah entitas material yang terpisah dan hanya jiwa yang abadi yang karena inilah esensi logos yang merupakan ruh;
b)      Menolak klaim, bahwa pengetahuan yang khusus berubah jelas mungkin. Tuhan tidak mungkin berubah;

c)       Al-Ghazali mengatakan tidak ada satu kasus pun yang tidak abadi,mulai dari yang abadi.

Comments

Popular posts from this blog

Macam-macam Majas

MICRO TEACHING (DASAR KETERAMPILAN MENGAJAR)

Sekolah dan Institusi Pendidikan Keagamaan di Masyarakat